37. Menerima Konsekuensi

208 54 78
                                    

Dari chapt yang lama, aku tetapkan
Sebait Klausa 15+ atau 16+ ya! Sebab
kalau aku pikir lagi, bahasannya agak
frontal tentang masa remaja untuk
pembelajaran😁

Hayooo siapa yang umurnya belum
cukup tapi udah baca buku ini?😱🤭

Petak pilau tak berpenghuni, dijadikan sebagai utopia sejemang di kala semenjana mencari arah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Petak pilau tak berpenghuni, dijadikan sebagai utopia sejemang di kala semenjana mencari arah. Epigraf tirta amarta yang dikehendaki tanpa sebuah tafakur, menafsirkan sepasang muda-mudi yang terpijaki salah jalur. Amarah tanpa membancang, avolisi, anomi, maupun agresi yang menimbulkan berbagai macam sulur.

Pada bulatan rawi yang menampilkan notasi hampir setengah satu siang. Dahina tidak pada tempatnya. Dikisahkan penaka raungan amarah bercekit dilampiaskan kepada siapapun yang sedang berada di sana. Membagi sarat kesal yang tengah ia alami sendiri, dan berusaha untuk meminta balas astungkara bahwa semuanya, hanyalah bualan semata.

Lelaki itu pun langsung bingung nan pilon semenjak kejadian Wulan menangis di wisma lara baru saja. Netranya membola seketika manakala melihat wanita berbadan dua itu hendak mencabut infus atas swakarsanya sendiri. Ia menangis dan tidak percaya bahwa semua ini adalah... sebuah hal yang nyata.

Ia mendekat dan hendak menjeremba jemari lentik Wulan untuk ia genggam, namun disentak mentah-mentah oleh sang empu. "Maafin Sena, kak. Aku tahu... Sena nggak seharusnya ngelakuin itu sama kakak. Sena--" ujarannya dipangkas oleh lawan bicara sang wira.

"PERGI!" teriak Wulan hingga urat yang menonjol di sekitar lehernya, nampak jelas figurnya di sana. Memerlihatkan sebuah persistensi untuk Sena menjauh dari aksanya di sana.

"AH, SIALAN LO!" Wulan meraung-raung lagi sambil menjambak surainya. Ia mengeraskan bahananya setakat mencekat tenggorokan. Daksanya terasa panas menggelanyar angkara murka dilukiskan mala di raut durjanya.

Mungkin dirasa ia telah marah karena akal sehatnya waktu itu tidak berjalan dengan baik. Hanya menginginkan dia, dia, dan dia seorang saja.

Kalau sudah begini, lalu pihak manakah yang harus disalahkan?

Di saat Wulan secara sukarela memberikan semua apa yang ia punya kepada seorang 'laki-laki'. Namun setelah mendapat akibatnya, ia justru merutuki kesalahannya.

Ia merasa menyesal.

Kini dirinya hanya bisa menangisi kebodohannya di atas ranjang rumah sakit. Penampilannya sungguh kacau dengan infus yang tak berhasil ia lepaskan, justru tertampak getih memerah yang terpercik kecil di punggung hasta sang nona bulan.

Katakanlah ia adalah orang dengan pemikiran yang pendek. Bagaimana dengan ia yang suka 'iya-iya' saja tanpa memikirkan masa depannya. Lalu usai mendapat semua apa yang diinginkannya, kandas. Semuanya tidaklah sama seperti ekspektasi oleh figur wanita berbadan dua ini.

Sena tidak langsung berangsur untuk mundur. Ia menelan ludah, sangkala Jefan terkena amuk pukul di dadanya bertubi-tubi dan menangis di pelukan afeksi ketenangan milik kakaknya. Ia melangkahkan sepatu berukuran sekitar empat puluh lebih itu dengan goyah. Memberanikan diri untuk bertemu ajal di hadapan Wulandari.

[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang