19. Menuju Satu Awal dan Akhir

223 74 18
                                    

Alhamdulillah bisa up, nih...

Jamanika tembus pandang pada kumpulan lingkaran kecil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jamanika tembus pandang pada kumpulan lingkaran kecil. Pun sedikit dicelah oleh sinarnya sang Mentari, tersingkap lebar menusuk kedua iris.

Udara pagi yang sudah menuju siang, entah mengapa ada yang berbeda. Barangkali puan yang sedang mengerutkan katup jelaga, sudah berada di kediamannya. Rasa sakit jua menggeranyang dan menyudut jemala miliknya. Mau tidak mau akhirnya nona bulan berusaha terbangun dari bunga tidurnya.

"Bagus... udah mau jam sebelas masih molor. Lupa kalau hari ini hari Senin? Kuliahmu itu jam sepuluh pagi..."

Bias suara itu lekas merangsek rungunya. Ditatapnya sejenak iris jelaga yang tak berpendar oniks permata. Kelam, seperti perasaan yang digandrungi wanodya.

"Kenapa masih rebahan kaya gitu? Bangun! Jangan males-malesan. Perawan kok bangun siang?!" Wanita itu menggertak Wulan. Menepuk keras pantat dahayu dengan penebah kayu sangat keras. Hal itu sungguh membuat Wulan berteriak tertahan.

"Dari mana aja kamu semalem?! Mama sama Papa kemarin pulang jam sebelas malam, tapi kamu nggak ada di kamar," runtutan kata berhasil membuat Wulan meneguk salivanya kasar.

"Dari mana aja? Jawab mama!" lanjutnya lagi dengan gertakan gahar.

Wulan terduduk sambil menunduk. Menggigit kecil bibirnya yang resah. Hatinya berkecamuk tak tenang manakala sang Ibunda bertanya demikian.

Sumbu amarahnya jelas-jelas mengeluarkan percikan api. Sebab taruni itu tidak membalas kata-katanya sedari tadi. "Wulan, kamu kalau ditanya sama orang tua itu dijawab!"

Gadis kirana itu masih tertunduk di atas kasur. Adiratna dengan surai coklat brownies yang masih acakadut, mendengus sesaat dengan lengkungan di ujung sudut.

"Memangnya kalian bakal khawatir sama Wulan? Aku pikir Mama nggak bakal cari adek sampai kapanpun itu. Mama, Papa, dan Kakak lebih mementingkan pekerjaan kalian daripada perhatiin Wulan," ucapnya bengis. Tak lupa dengusan recaka yang terdengar sinis menyinis.

Ibunya terdiam. Bak gembok yang terkunci rapat-rapat, entah kuncinya jua hirap kemana perginya. Wanita dengan umur berkisar empatpuluh lebih itu memandang anaknya. Melunak sejenak. Ibu bersurai dominan putih mengembuskan napasnya pelan.

Didekatinya Wulan dengan segala rasa kasihan, ia pun memeluk wanodya beserta afeksi ketenangan.

Wulan masih terdiam belum membalas pelukan itu. Justru lebih parah menepis semua kasat renjana dari sang Ibu. Ia memilih pergi sebab sudah terlanjur kesal menguasai diri. Gadis belia ini keluar dari kubikel tanpa mengucap kata dari hati.

Ibunya meredam tangis. Menyadari betapa sibuknya dunia kerja, pangsa pasar yang terus menggelodar, membuat sibuk waktu-waktunya habis tak tersisa. Pun sampai tidak bisa memperhatikan perkembangan sang Anak hingga masa remaja.

[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang