34. Untuk Kedua Kalinya

176 46 60
                                    

Kalian ada yang nyadar, nggak?
Kemarin tuh banner tag Sebait
Klausa salah inputnya. Justru
banner tag punya Kediri yang
ku letakin di chapt sebelumnya
😂😂

Okay, enjoy reading! Bacanya
pelan-pelan aja ya biar paham

Okay, enjoy reading! Bacanyapelan-pelan aja ya biar paham

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"AAAARGHH, BRENGSEK!"



PRANG!!


Mendengar bahana memekakkan ilu pilu sanubari, si penanggungjawab atas hunian yang ditempati lanjar merajut langkah berdentum-dentum. Tergopoh-gopoh mungkin telah dilukiskan terlalu ribut semrawut akan tika lawai di cakap otaknya.

Gedoran pada bilah bidang datar kekayuan menjadi titik pusatnya mengetuk dengan brutal. Rasa khawatir mendominasi dan menginvasi setakat ke penjuru ruangan yang luas berpetak-petak meternya. Lelaki yang biasa kita kenal sebagai wali kelas Senapati itu, kalang kabut dibuatnya akan suara pecahan beling yang berasal dari seberang kubikel.

"Dek? Dek? Kamu nggak pa-pa?!" Larik tanya yang terlontar dari ranum tebal sang wira, bersarat gundah ilu pilu nestapa mendengar kacaunya di dalam sana. Namun si sulung dari Keluarga Sanggara itu pun tidak mendapat sepatah balasan dari nona candra.

"Dek?! Dek Wulan?!" panggilnya sekali lagi tuk memastikan. Rungunya ia dekatkan pada pintu tersebut agar mendengar sebuah utas balas dari si bungsu.

Merasa tidak ada jawaban bersekon-sekon kemudian, taruna berponten hampir mencapai usia perak, semakin meninggikan suaranya di sana. Pula dengan debuman karantala di daun pintu, setakat buku-buku jemarinya ikut tercorak gurat merah menghiasi kulitnya.

"DEK, JAWAB KAKAK!" bentaknya kembali, menyuruh si dayita untuk membukakan daun pintu. Bulir ekskresi ia dapatkan, berupa keringat lekas membanjiri peluh di dahinya. Bertandang sudah hingga menetes basah sebab usahanya hendak bertanya pada kesayangannya itu, lagi dan lagi tak kunjung mendapat jawaban.

Sedangkan di dalam ruangan, Wulan terisak penuh racau dengan penampilan yang sungguh kacau. Ia menangis keras nan meraung-raung layaknya orang kesetanan sekarang. Dirinya sudah berbulir jutaan ton tirta telah bermuara pada lekat epidermis pipinya.

Wanodya yang masih setia berdiri menatap kaca riasnya yang pecah, langsung bersimpuh pada bulu-bulu karpet ruangan. Suhu dingin udara dari balok sejuk itu pun ikut mencekam daksa dan meremat hatinya. Ia menyaksikan, bagaimana aliran darah itu mengucur deras pada pergelangan tangan kirinya. Rudira yang ada sebab ulah Wulan sendiri, masih mencuat keluar setakat akan habis apabila ia tidak menghentikannya.

"S-Sena brengsek! LO BRENGSEK SENA!" umpatnya lagi sambil tergagap isak. Netranya memburam dengan tepian basah menggenangi telaga bening kepemilikannya.

Taruni nol satu yang lebih tua dari kekasih 'di atas kertas' itu pun, merasakan ada gejolak bagai letupan perut gunung yang hendak memuntahkan isinya. Wulan merasa mual parah tatkala melihat ubin ruangan sudah menjadi tempatnya menemui ajal. Dan aroma pekat bau amis dari rudira, merangsek mentah-mentah pada penghidu bangirnya.

[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang