16. Ruang Bertanya

242 91 45
                                    

ayo votement kawan :(
aku suka bacain komen
kalian soalnya. tapi jangan
hate comment, okay?  ˊ▽ˋ  ♡

 tapi janganhate comment, okay?  ˊ▽ˋ  ♡

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kak.”

Jemalanya mengendikkan dagu tanpa memusatkan atensi. “Hm?”

“Ish!” sang Gadis pun mengerutkan labium merahnya sambil merotasikan kedua maniknya. Ia menyandarkan kursi dengan rasa culas yang lekas mendera. 

Mengembuskan napas pasrah, pemuda Bumi ini mau tak mau akhirnya meletakkan berkas miliknya. Netra hitam itu melihat adik gadisnya yang tengah melayangkan tatapan marah. “Kenapa? Balik sana, nggak kuliah emang?”

“Males,” jawabnya acuh sambil menggulir jendela layar ponsel buah apel. Sedangkan daksanya berputar-putar pada kursi yang ia duduki.

“Kuliah kok males... dimarahin Papa lagi nanti kalau kamu bolos. Kakak nggak mau bela kamu pokoknya,” sahut Jefan seraya menggeleng-gelengkan sirah. 

Jefantara jengah akan sikap adiknya. Wulan seakan menjadi gadis anomi bila seperti ini. Padahal ia dulu adalah wanodya yang selalu menuruti lokastiti. Entah mengapa... Wulan jadi berubah, Jefantara tidak mengerti.

Kubikel beraroma vanilla pun bersenyawa padu. Awalnya sang Gadis menatap langit-langit ruangan khusus milik sang kakak, dan kini telah berubah pandangan. Nayanika kelam arangnya pun sedikit terbeliak.

“Eh, Kak!”

“Apa? Minta duit? Tadi, ‘kan udah kakak ka—”

“Bukan, ih!” kesal Wulan. 

Menurunkan bahu usai menghela napas. Lagi-lagi pemuda berlencana widyaiswara ini meletakkan berkas-berkas. “Terus apa?” tanyanya culas.

Mengulum bibir candu meronanya, kini menatap sang Kakak dengan malu-malu. Ia hendak berkata, namun ranumnya lagi-lagi tak mampu menahan gejolak tawa semu. 

“Yang tadi nganterin gue, namanya siapa, Kak?”

Gurat kening sempit Jefan tercetak jelas setelah mendengar ucapannya. Ia tidak mengerti mengapa gadis bunga ini bertanya demikian. Namun guru muda tersebut meringankan, toh Wulan mungkin hanya ingin tahu asmanya saja, ‘kan?

“Oh... Nawangga Senapati XII MIPA 2, kenapa?”

“Lo punya nomornya, Kak?” ayat tanya ia larikkan. Gemintang sabitah jelas sekali tertampak pada jelaga.

Aksa bulatnya menyipit, pula dengan sungging bibirnya yang semakin tertarik sedikit. Lelaki dengan tatanan surai hitam yang tampan pun menggoda adiknya. “Punya, dong....”

“Tapi di dunia ini nggak ada yang gratis,” lanjutnya, berkutat lagi dengan pekerjaannya. Adiwangsa ini sedang memasukkan angka-angka milik anak didiknya pada buku nilai.

Jefantara juga makhluk hidup, tak bisa dipungkiri bahwa ia sangat peka perihal ini. Nampaknya, Wulan mulai menyukai Senapati Gandhi pada pandangan pertama. Jelas, lelaki yang bermakna penyangga buana sedang menggoda dan menarik ulur kata sang Nona. 

[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang