28. Rupa-Rupa Satu Babak

235 53 27
                                    

Aku tau banyak yang sider
Tapi tolonglah, hargai seorang
penulis dengan vote & comment
Aku tahu kalian orang yang baik♡

Aku tau banyak yang siderTapi tolonglah, hargai seorangpenulis dengan vote & commentAku tahu kalian orang yang baik♡

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keadaan rumah sakit kalang kabut dibuatnya. Tidak bisa dibilang baik pula sebetulnya. Genting entitas rasa pada sekon-sekon yang dilalui oleh para insan di sini. Berpusparagam dengan maujud emosi yang merayap diam-diam di balik kerangka dadanya. Alat vital berupa sekepal hasta titik detak manusia terus menggelora dengan embusan recaka berat tertahan. Alis tebal menukik seperti burung elang, tiada lupa kepada aroma sanitasi dan ringisan yang jua beserta merta.

"Bagaimana keadaanmu?" larik tanya seseorang menguar dalam lorong bergangsi sanitasi. Lelaki itu lajak berdiri dan menghampiri kawannya dengan raut durja khawatir.

Sang lawan bicara mengembuskan napas. "Gue nggak apa-apa. Yah... cuma lecet doang sih," jawabnya ringan sambil menunjukkan pelipisnya yang terbalut oleh kasa perban dan beberapa balutan yang serupa pada bagian wajah dan tangannya.

Kawannya yang telah menolong si lelaki berasma Nawangga pun meringis kecil menatap Handika. Teman satu kelasnya sebagai sekretaris satu di kelas IPA 2, mendapat penanganan ringan berupa pengobatan di gedung penyembuhan lara bersama sang ibu.

"Ibumu? Bagaimana keadaannya?" tanyanya dengan frekuensi nada rendah khawatir.

Menggeleng singkat usai keluar dari ruangan dan terduduk di salah satu bangku besi panjang di dekat Sena. "Kata dokter, Ibun tadi fisiknya lemah dan pingsan belum siuman dari tadi di ruangan. Gue takut ibun nanti kenapa-napa..." lirihnya pelan sembari menggigit bibir yang sedikit robek usai pulang dari tempatnya menimba ilmu pengetahuan. Jemalanya tertunduk, tak berani menampakkan perangainya yang semu membiru dan luka dimana-mana pada bagian durjanya.

"Ah, bodoh banget gue! Pasti ibun syok banget liat gue dipukul pakai botol sampai pecah tadi," kesalnya penuh sesal sembari mengacak-acak surai tebal arangnya. Ia merasa tak berguna menjadi anak lelaki yang seharusnya menjadi pelindung sang malaikat tercinta, namun sama saja. Ia tetap merasa ahmak dan tidak berguna bagi orang yang disayanginya.

Taruna jangkung berbusana santai yang sebetulnya hanya sekedar mampir tuk mengembalikan buku, namun justru berakhir kemari dengan beribu lara sang kawan yang dialami, membuat Sena menggeleng hebat. Ia tak kuasa menatap bendu yang biasanya selalu menebarkan gelakak tawa laksana tangisan kelabu nusantara tak terkimah, namun sekarang sudah berbeda.

Handika punya sisi kalabendu yang sukar ia pahami melalui jelaga indahnya. Lelaki itu punya seribu satu cara untuk teguh pada pendiriannya. Taruna betubuh jangkung yang masih lengkap berseragam sekolah dengan kain jaket senantiasa melekat pada daksa, selalu ingin menampilkan sisi cerianya, bahagianya ia, dan tak mau membuat kawannya khawatir dengan sisi buruk keluarganya.

Ia terlampau malu jika nanti Handika dicap sebagai anak broken home dan mendapat caci maki berupa pem-bully-an.

Sena menepuk pelan bahu sang Cakrabuana tuk menyalurkan afeksi ketenangan. Jejaka muda berkelahiran Desember itupun merajut klausa penuh terlampir pada labia ranumnya. "Don't worry, Handika. She is will be okay. Don't be sad, i always beside you. Kalau kamu butuh bantuan, bilang saja kepadaku."

[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang