48. Bukan Akhir, Melainkan Awal

255 55 54
                                    

Ayudisa menangis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ayudisa menangis.

Tak ada yang mampu menangkis segala rasa sakit, kecuali permainan semesta yang selalu beradu sengit.

Bayu telah mengucap kata untuk pergi, tanpa mendekap sebuah warta selamat tinggal kepada sang pujaan hati.

Gulungan cakap rindu yang pernah gadis itu damba dan berharap ia menjadi satu-satunya lelaki yang ia cinta, terus memaksanya untuk membulirkan air mata dari telaga miliknya. Terus meluruhderai bagai gerimis yang berpadu jua. Awan-awan nampak sangat gelap, penaka rundung hatinya di tiap sekon yang membuatnya semakin harap. Namun juga ingin lesap dengan raganya yang semakin lama akan menghirap. Pelita yang menjadi lentera kehidupannya kini terkikis oleh utopia semata.

Dan Ayudisa tak bisa menghalau apapun lagi dengan mata yang terus sembab begini.

Dalam jeritnya yang mampu membuat siapapun merasakan lara di dalam lubuk hatinya, akan merasa iba dengan seorang taruni nol dua pada praja Batavia. Jejaka ceria dengan derananya sang bahuraksa, selalu menaungi siapapun untuk tetap menyinari buana miliknya, telah pergi tanpa mengucapkan utas selamat tinggal di sisi Ayudisa.

Pemakaman mengundang ilu pilu dengan semat nama di atas maesan putih yang acapkali kita temui pada papan yang menancap tangguh di atas tanah. Terpampang tulisan nyata bahwa tuan muda yang membantunya untuk mencari penginapan sementara di kota penuh kenangan ini, memberi rasa sakit yang mampu menggores lebih dalam luka batin sang pemudi. Netranya memburam dengan sukar ia menatap jauh ke bawah sana yang terhalangi oleh air mata yang menggenang di pelupuk matanya, membaca sebait kata-kata dengan sesenggukan.





Bayu Hafidz Renjana
Bin
Hafid Radjakarsa
15.11.02 - 15.01.21



Perlahan, gadis berpakaian gelap di dekat sang kakak mulai mendekat. Ia melangkah berat dengan recaka yang nampak tersendat-sendat. Bahunya gemetar, seakan masih tak percaya bahwa lelaki yang menjadi pelitanya saat ini, telah bersandar pada pangkuan Tuhan yang ada di sisi. Lututnya menggulung pada bantala bumi dan mengusap maesan putih tersebut, penaka menyisir lembut surai hitam tinta milik lelaki penuh karsa itu.

"Bayu... kamu istirahat yang tenang ya di sana... Aku tahu, mungkin ini yang terbaik untukmu. Kamu lelaki yang luar biasa tulus hatinya. Lelaki pantang menyerah dan punya semangat kerja keras. Aku..." ucapannya tertahan untuk mengambil napas, kemudian melanjutkan dengan senyum tipis penuh sakit terpatri di bibirnya. "beruntung bisa bertemu dengan kamu, Bayu." Suaranya parau dan terlampau serak. Kemungkinan kecil bahana yang dilontarkan itu akan lenyap diterpa angin yang tengah berembus dengan pelan.

Masih sesenggukan, ukiran tipis di sudut kurvanya kini sudah mengikuti gravitasi bumi. Ia melengkungkan kepedihan di atas benang bibir dengan air mata yang setia berbondong-bondong mengecupi nisan seorang pemuda tanpa duaja itu. "Bayu... aku tidak menyangka pertemuan kita akan berakhir sesingkat ini. Padahal rasanya... seperti baru kemarin kamu memboncengku dengan sepeda coklatmu itu. Terasa baru kemarin kita bertukar isi hati masing-masing. Tapi... mengapa waktu cepat silih berganti, Bayu? Bahkan mengingat semua yang telah kita lewati hari-hari, aku tidak sanggup. Aku sungguh tidak sanggup, Bayu..."

[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang