09. Jolong-Jolong Gapah

341 91 33
                                    

“Sena

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Sena... anak kesayangan bunda...” Pemilik bahana dari wanita paruh baya lekas merangsek masuk ke rungunya. Melangkahkan kedua kaki menuju kamar sang Anak yang masih tertutup daun pintunya. 

Ibunda Sena mengetuk-ngetuk bidang datar dengan perlahan, memanggil anaknya sekali lagi dengan ketukan. 

“Anak bunda? Senapati Gandhi...”

Balasan untuk sang Bunda tidak terdengar. Entah anak lelakinya sedang apa di sana, hingga tak mendengar panggilan dari sang Adiratna.

Biasanya seusai pulang sekolah, ketika notasi telak merujuk angka setengah enam lebih menyinggah, Sena akan langsung berkutat dengan berlembar-lembar jeluang susah. Soal-soal latihan ujian, ataupun hanya sekedar membaca ulang materi yang diajarkan.

Mungkin sang Gandhi tengah kacamata kuda, hingga tidak menyadari keadaan di sekitarnya.

Dibukanya penutup pintu setinggi dua meter itu dengan kerutan kening. Sepi menghening. Sepetak kubikel beraroma maskulin jua menginvasi sekali denting. Senapati sedang tertidur dengan bantal yang bersanding.

Melukis sabit indah dari ranumnya yang ayu. Ibunda Sena mendekat pada ranjang anaknya yang satu itu. Terduduk di samping seraya mengelus surai gelita milik Nawangga. Menyingkirkan berhelai-helai yang menutupi jelaga sang Bumiputra.

Tepukan berirama dari karantala, tertuju pada epidermis tuk membangunkan Sena. “Nak... bangun dulu, yuk?” 

Kedua kelopak itu bergerak, menyipit sebentar sebab baswara lampu sudah menyala cepak. Intensitas cahaya yang masuk ke irisnya seakan menusuk lebih dalam, menenggelamkan lagi seri wajahnya di antara sepotong kain tebal yang tentram.

“Ayo makan malam dulu, belum makan daritadi, loh. Nanti Sena sakit...” 

Lagi, rakit kata malaikat sayapnya seakan hangus direbut sang Bayu. Hirap kembali usai merasuk pada rungu daksina, dan keluar dari rungu kirinya.

Wanita sahaja dengan rambut cepak sebahu serta pakaian sedikit megah tersampir pada raganya, menilik lingkar hastanya yang tertuju pada benda silver di sana. Sudah lewat pukul tujuh malam usai kembali dari toko kuenya. 

Satu hal yang harus kalian ketahui,

Ketika anak adam yang satu itu sudah mencium aroma raksi dari sang Pujaan, bantal, ia akan sangat susah bangkit dari pelukan nyaman kasur miliknya. Sekuat tenaga tuk membangunkan tanpa ada iming-iming, pasti tidak akan bergerak walau itu satu senti. 

Kecuali—

“A-ah iya, halo?”

—dering telepon dari nona adiwarna.

Ibundanya menggeleng-geleng ketika anaknya langsung bangkit dari bunga tidurnya. Tertawa kecil jua menatap surai legamnya berubah menjadi sarang burung di sana. 

[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang