"Seuntai kalimat yang ku goreskan diatas kertas putih ini. Akan menjadi saksi jika dulu, kita memang pernah ada."
- P e r i s h a b l e -
10. Selembar tulisan
***
Kini gadis berambut kucir kuda itu terlihat diam tanpa bisa berkata-kata. Kedua matanya pun tampak setia melihat orang itu dan enggan untuk berkedip.
"Denger nggak lo apa yang gue bilang?" Arlen, sosok lelaki yang berbicara padanya itu kembali mengulang pertanyaan. Karena tampaknya si lawan bicara tidak mendengarkan.
Merza tersadar dan menggelengkan kepala pelan, "Ah? Lo..lo bilang apa tadi?" balasnya disertai wajah bingung. Namun detik berikutnya dia mengalihkan pandangan, melihat Regan yang berjalan melewatinya. Cowok itu bahkan tidak menoleh sedikitpun ke arah Merza.
Arlen mendengkus, entah menapa dia merasa kesal karena Merza masih menatap Regan dengan pandangan seperti itu. Terlihat bodoh.
Dia beralih menarik tangan kanan Merza, lalu memberikan ponsel itu padanya.
"Hati-hati sama orang baru. Dan jangan angkat telpon dari orang yang nggak lo kenal. Paham?" ucap Arlen dengan nada dingin namun terkesan serius. Agar Merza paham bila dia, masih peduli.
"Memangnya kenapa?" tanya Merza heran.
"Ikutin aja apa yang gue bilang." balas Arlen dan kemudian beranjak pergi. Meninggalkan Merza dengan beribu pertanyaan didalam benaknya.
Dia menunduk melihat benda pipih di genggamannya, mengapa dia harus berhati-hati dan tidak boleh mengangkat telepon dari orang yang tak di kenal? Dia hanya gadis biasa yang tidak memiliki musuh, lalu, siapa yang akan menyakitinya?
"Za, gue udah kelar, nih," Ghea datang menghampiri Merza dengan membawa dua cup coffee latte dingin dan memberikan salah satunya pada gadis itu.
Merza mengangguk, pikirannya kini tengah bercabang hingga dia tidak tahu harus mengucap apa.
"Lo mau langsung pulang atau gimana?" tanya Ghea disela-sela langkah mereka yang menuju ke parkiran kampus.
Namun lihat, pertanyaan Ghea tak mendapat respons oleh Merza karena dia tetap diam dengan gurat wajah yang seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Za," Ghea pun menyenggol pelan lengannya agar dia tersadar. Dan itu berhasil membuat Merza tersentak.
"Ya? Lo bilang apa tadi?"
Ghea mendengus keras, apa putus dari Regan begitu berpengaruh besar? Hingga pikiran Merza tak luput dari cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perishable (Segera Terbit)
RomansaApa yang kamu rasakan saat bisa menjadi pacar seorang lelaki yang kamu cintai? Pasti bahagia, bukan? Dan itulah yang Merza rasakan. Awalnya dia begitu bahagia karena bisa berpacaran dengan Regan, dan tak peduli dengan sikap dingin cowok itu padanya...