"Setidaknya aku masih bisa melihatmu. Meski kini kamu sudah tidak lagi bersamaku."
- P e r i s h a b l e -
54. Don't cry
****
Merza berlari keluar dari taksi dan melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan wajah sembab. Air matanya terus mengalir, tak kuasa membendung sesak pada dadanya setelah mengetahui semua itu.
"Merza, udah ma--," ucapan Seina terhenti saat melihat Merza menangis, gadis itu berhenti melangkah dan menoleh ke arahnya.
"Mama udah tau, kan?" Seina meletakkan majalahnya di atas meja, lalu kemudian berdiri dan berjalan mendekat ke arah Merza.
"Maksudnya?"
Merza tertawa sumbang, dia menghapus kasar jejak air matanya, "Kak Melva meninggal bukan karena kecelakaan. Tapi dibunuh. Mama udah tau, kan?" tanya Merza, menatap Mamanya sendu. Dia bahkan berharap jika Mamanya tidak tahu apa-apa, namun sayangnya ekspresi wajah yang terlihat sudah memberi Merza jawaban.
Seina terdiam, dia hendak membuka mulut untuk menjawab, "Papa sama Mama tau, kan?! Kak Melva meninggal karena dibunuh!" sentak Merza, menatap Papanya yang berdiri di dekat tangga. Rion kaget saat melihat Merza menangis dengan Seina dihadapannya.
"Merza, Papa bisa jelasin. Kamu dengerin dulu," ucap Rion sembari melangkah mendekat.
Gadis itu menggeleng lemah, "Penjelasan Papa nggak ngebuat sakit di hati Merza hilang, Pa. Merza kecewa sama kalian," balasnya kemudian berlari kecil menaiki anak tangga. Merza tidak menuju ke kamarnya, melainkan kamar Melva.
Dia masuk ke dalam ruangan bernuansa abu-abu itu lalu duduk dilantai dan bersandar pada kasur yang berada di belakangnya. Matanya melihat beberapa bingkai foto yang tersusun rapi di atas nakas, walau Melva sudah tidak ada, namun beberapa barang-barangnya masih tersusun di dalam kamar. Itu permintaan Merza, agar di saat dia rindu dengan Kakaknya, dia bisa datang ke kamar ini.
Tangannya lantas meraih salah satu bingkai foto itu, di sana terlihat dua orang gadis yang tengah berpose dengan memegang kue ulang tahun. Foto ini diambil pada saat perayaan ulang tahun Melva. Ulang tahun terakhir gadis itu.
"Kak..maafin Merza, ya," lirihnya, mengetahui jika Melva meninggal bukan karena kecelakaan tak membuat Merza berhenti untuk menyalahkan dirinya sendiri. Dia tetap merasa bersalah, karena jika saja Melva tidak keluar pada malam itu, kejadian mengerikan itu tidak akan terjadi.
Ternyata telepon misterius yang pernah dia dapat beberapa bulan yang lalu ternyata bukan sebuah kesalahan. Merza tidak berpikir jika apa yang orang itu katakan benar, dia tidak berpikir jika suara teriakkan minta tolong itu adalah suara Kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perishable (Segera Terbit)
RomanceApa yang kamu rasakan saat bisa menjadi pacar seorang lelaki yang kamu cintai? Pasti bahagia, bukan? Dan itulah yang Merza rasakan. Awalnya dia begitu bahagia karena bisa berpacaran dengan Regan, dan tak peduli dengan sikap dingin cowok itu padanya...