"Sekarang aku tahu, seharusnya perasaanku tidak terlalu dalam untukmu. Akhirnya terlalu menyakitkan," ucapnya setelah berusaha dengan kuat menahan tangis. Mata yang berubah menjadi sayu hanya bisa terus menatap ujung kaki, tanpa berani menatap lawan bicaranya. Bahkan tak ada lagi senyuman yang terpancar seperti biasanya.
"Maaf." Kata terakhir yang terucap seolah memperjelas akhir hubungan yang tak bisa lagi diperjuangkan.
Kedua manusia tanpa ikatan itu masih berdiri di tempat yang sama tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi. Mereka saling memalingkan wajah ke arah tepi tebing guna mencoba menghibur hati dengan keindahan kota yang terlihat cantik saat musim dingin, pemandangan yang dipenuhi dengan gundukan salju. Malam yang seharusnya bahagia berubah menjadi malam yang menyedihkan, khususnya untuk gadis itu.
Merasa tak lagi kuat menahan isakan, gadis itu justru menggigit bibir bagian dalamnya dengan kuat hingga tanpa sadar melukainya. Sedangkan, matanya sudah penuh dengan cairan bening yang kapan saja bisa menetes saat dia mengedipkan mata.
"Aku pergi," pamitnya tanpa menatap wajah laki-laki yang mendapat gelar sebagai cinta pertamanya itu.
"Biar aku antar."
"Tidak perlu, aku bisa sendiri. Selamat tinggal, aku berharap semoga kamu bisa bahagia dengan cintamu yang lain. Ah iya, semoga sukses dengan karirmu!" Gadis itu meninggalkannya tanpa menengok ke belakang lagi.
Dia terus berjalan dengan hati-hati membelah gundukan kecil kristal putih yang mulai merata di jalanan. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri demi mengurangi rasa dingin yang menusuk kulitnya. Rasanya hari itu, dinginnya salju lebih dingin dari biasanya hingga pakaian tebalnya tak mampu menahan rasa itu.
Tangisan yang sejak tadi tertahan, kini keluar begitu saja. Dia mengeluarkan semua emosi yang belum sempat diluapkan tanpa memedulikan lagi pandangan orang. Setelah merasa sedikit tenang, dia mengeluarkan ponsel dari saku jaket musim dinginnya yang begitu tebal. Gadis itu menekan nomor dua pada dial pad-nya yang langsung terhubung pada nomor telepon prioritas.
"Halo?"
"Ada apa?" Terdengar suara berat menjawab panggilan gadis itu.
"Ayo minum!" Matanya mengamati papan nama di sekitarnya mencari nama bar yang dekat dengan posisinya. "Aku tunggu di moon light bar," ucapnya setelah menemukan tempat yang dia cari.
"Hei, bodoh! Bukannya pulang malah mengajakku minum di luar, Kamu lupa hari ini hari apa?" oceh laki-laki itu justru membuat gadis itu merasa kesal.
"Aish, tentu saja aku tidak bodoh! sekarang hari Selasa, kan. Kalau kamu tidak mau, biar aku minum sendiri! Aku tutup!" Dia menutup panggilan secara sepihak dan memasukkan ponselnya lagi ke tempat semula.
Gadis itu langsung masuk ke dalam gedung yang terlihat masih dipenuhi pengunjung, bahkan hingar-bingarnya bisa terlihat dari luar.
"Aku minta satu botol wiski." Bukannya memberikan pesanan gadis itu, bartender yang ada dihadapan gadis itu justru memperhatikan penampilannya dari ujung kepala hingga kaki.
Gadis itu hanya mengenakan long coat berwarna hitam dengan garis putih di lengannya, serta kemeja moka yang berada dibaliknya dengan panjang yang menyentuh lutut, serta celana hitam yang membungkus pas kakinya. Tak lupa sepatu dengan bulu di bagian mata kakinya. Penampilannya terlihat sangat berbeda dengan gadis lainnya yang memamerkan lekuk tubuh tanpa takut masuk angin.
Merasa diperhatikan dengan intens, dia yang merasa mulai tak nyaman langsung menegur bartender dengan nada sinis andalannya. "Ya! Tenang saja aku bisa membayar minumanku! Jangan menatapku seperti seorang pengemis!"
Bartender yang mendengar teguran darinya langsung meminta maaf dan merasa tidak enak hati. Dia juga memberikan pesanannya, lengkap dengan gelas kosong.
Gadis itu memasukkan dua buah bongkahan kecil batu es ke dalam gelas, kemudian menuangkan minumannya hingga memenuhi gelas. Dia mendekatkan gelas ke hidungnya, menghirup aroma khas minuman itu. Setelah itu, tetes demi tetes mulai meluncur dengan perlahan memambasahi kerongkongannya, dia menikmati sensasi cairan hangat itu. Hangat yang memabukkan.
Kesadarannya pun mulai menipis saat berhasil menyelesaikan tegukan terakhir dari gelas ketiga. Akibatnya, tangisan itu kembali menguasai dirinya lagi, suara isakannya lebih nyaring daripada sebelumnya. Racauannya dipenuhi dengan kalimat yang menyalahkan diri sendiri atas kandasnya hubungan asmara yang sudah dia bangun selama lima tahun.
"Apa yang salah dariku? Apa aku kurang cantik? Menarik? Lucu? Atau bahkan kurang sek-"
"Ya! Ada apa denganmu?" bentak seseorang dengan suara yang sama persis seperti di telepon. Gadis itu memalingkan wajah menatap sang empunya suara dengan isakan yang masih terdengar samar.
"Kenapa bisa di sini?" tanyanya sembari menunjuk wajah laki-laki itu kemudian menangkupkan rahangnya di kedua telapak tangannya. Dia menatap laki-laki itu dengan senyum yang tipis saat sekilas mengingat panggilan terakhir mereka.
"Ayo pulang!"
"Tidak mau! Minumanku belum habis," rengeknya sembari menunjuk botol minuman yang tinggal setengah.
"Ayo pulang, jangan menyusahkanku! Lihat kesadaranmu mulai hilang, tidak bisa terkontrol lagi," bujuk laki-laki itu yang hanya dihadiahi dengan gelengan kepala.
Dia yang merasa sudah tidak bisa membujuk gadis itu, akhirnya ikut duduk disampingnya dan meminta sebuah gelas kosong. Kemudian, ikut menuangkan minuman milik gadis itu ke dalam gelasnya dan meminumnya dalam sekali tegukan.
"Gadis gila! Bisa-bisanya minum di luar batas!" Dia memperhatikan gadis itu, yang masih sibuk dengan racauannya. Sekejap dia bisa tertawa, lalu menangis seperti halnya orang gila.
Melihat gadis itu mulai tak sadarkan diri, dia langsung membopongnya menuju tempat parkir. Tak lupa meninggalkan beberapa lembar uang untuk minuman yang mereka nikmati. Dia mendudukkan gadis itu di kursi penumpang, kemudian mengambil duduk di sebelahnya juga. Dia melepaskan coat yang dikenakan, lalu menyelimuti tubuh mungil di sampingnya. Dengan perlahan dia membuat tubuh serta kepala gadis itu bersandar di pundaknya.
Tak peduli dengan pundaknya yang akan terasa pegal, dia hanya memikirkan kenyamanan gadis itu. Dia tak ingin gadis itu terbangun karena posisi yang tidak nyaman.
Setelah menunggu sekitar tiga puluh menit, akhirnya sopir pengganti yang dia pesan sudah tiba. Dia langsung meminta untuk diantar ke persinggahan mereka dengan segara.
"Ya! Jangan seperti ini lagi! Apa kamu tidak tahu betapa aku mengkhawatirkanmu? Aku harap ini terakhir kalinya kamu menangisi laki-laki bodoh itu! Jangan membuatku khawatir lagi, tolong!"
"Kantong!" ucap gadis itu tiba-tiba dengan mata yang masih terpejam.
"Ya! Ya! Tahan!" Mendengar ucapan gadis itu, dia bergerak dengan panik mencari kantong muntah yang selalu dia sediakan di dalam mobilnya. Namun, kepanikannya justru membuat tubuh gadis itu bergerak secara tiba-tiba hingga membuat cairan dari dalam tubuh gadis itu makin memberontak keluar dan akhirnya tak tertahankan lagi.
Melihatnya mengeluarkan cairan busuk itu, dia hanya bisa menahan napas dengan menekan kuat hidungnya menggunakan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya digunakan untuk memijat leher gadis itu.
Setelah merasa lega karena berhasil mengeluarkan semua cairan dari perutnya, gadis itu kembali menyandarkan tubuhnya. Dengan sigap, dia membenarkan jaket miliknya untuk menyelimuti tubuh gadis itu lagi. Dia juga membersihkan sisa cairan yang berada di sekitar mulutnya dengan tisu.
"Bodoh, sudah kubilang jangan muntah di dalam mobil! Kenapa kamu bisa sebodoh itu!" keluhnya, tetapi tidak membuat tangannya berhenti membersihkan wajah gadis itu.
"Maaf, besok akan aku bersihkan. Terima kasih," ucapnya sebelum kembali kehilangan kesadarannya.
"Tahun ini aku mendapat hadiah tergila darimu, sekantong sisa makanan dari lambung. Hebat sekali, dasar gadis gila!"
⚘⚘⚘
강선화
19.01.210119
![](https://img.wattpad.com/cover/255232943-288-k661404.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wild Flower | C O M P L E T E D
Genç Kız EdebiyatıHubungan yang sudah dibangun selama lima tahun harus kandas begitu saja. Baginya rasa sakit itu begitu menyesakkan karena dia harus berpisah dengan cinta pertamanya. Namun, gadis itu tidak ingin terus larut dalam kesedihannya, dia pun memilih untuk...