Bagian 7

553 48 2
                                    

Cakra duduk di balkon kamarnya dengan raut wajah gusar. Beberapa menit yang lalu, Gendhis--sang mama--meneleponnya untuk mengabarkan perihal acara lamaran Citra yang akan digelar besok lusa. Mendengar kabar sang adik akan melepas masa lajangnya, Cakra jadi resah sendiri. Terlebih Gendhis tidak menyebutkan siapa laki-laki yang akan melamar Citra, membuat Cakra semakin tidak tenang.

Beberapa kali Cakra berusaha menghubungi Citra untuk menanyakan kebenaran tentang lamaran sang adik yang tadi dikabarkan Gendhis, tapi Citra tak menjawab satu pun panggilan dari Cakra. Pikiran laki-laki 33 tahun itu jadi semakin tak tenang.

Kirana yang menyadari suaminya tak kunjung masuk kamar setelah mendapatkan telepon dari ibu mertuanya tadi, segera menghampiri Cakra di balkon. Tangannya mengusap lembut bahu laki-laki yang sudah setahun ini tinggal satu atap dengannya. Cakra sekilas menoleh pada Kirana, tapi dengan cepat Cakra memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Kenapa mama telepon? Ada masalah apa? Kok kamu jadi kaya nggak tenang gitu?" tanya Kirana.

"Tentang Citra!" jawab Cakra jujur.

Kirana menghembuskan nafasnya kasar sembari menyedekapkan tangannya di depan dada, "Citra lagi!"

Cakra langsung melirik Kirana tajam,  "Terus kenapa? Dia adikku kalau kamu lupa!"

"Tiap Citra ada masalah, kamu selalu kaya gini. Bisa nggak, sih, kamu nggak usah terlalu lebai? Citra itu pintar, dia selalu punya cara buat nyelesaiin masalahnya. Kamu nggak perlu terlalu ikut campur urusannya," ujar Kirana.

"Tapi sekarang masalahnya beda!" sanggah Cakra. "Lusa Citra mau dilamar orang!"

"Bagus dong!" ujar Kirana. "Itu artinya bentar lagi dia bakal nikah dan ada seseorang yang bakal ngejagain dia gantiin posisi kamu. Kamu jadi nggak perlu terlalu ngurusin Citra lagi dan bisa fokus sama aku, sama kita!"

Apa yang dikatakan Kirana memang tidak salah. Tapi hati Cakra terasa sakit saat mendengar jika posisinya di samping Citra akan tergantikan oleh orang lain. Dia amat menyayangi sang adik, ada rasa tak rela jika dia harus berjauhan dengan Citra karena keadaan dan status mereka yang telah berubah.

Cakra mengusap wajahnya kemudian menatap jauh ke depan balkon, memandang jalanan di depan kediamannya yang sudah lenggang karena memang malam sudah larut.

"Citra nggak pernah cerita ke aku kalo dia lagi deket sama seorang cowok, kenapa bisa tiba-tiba ada yang mau ngelamar dia?" tanya Cakra gundah.

"Emangnya setiap urusan Citra, kamu harus tau semuanya?" tanya Kirana sinis.

"Citra nggak pernah punya rahasia sama aku. Dia selalu bilang dengan gamblang semua isi hatinya ke aku, nggak ada yang di tutup-tutupin. Tapi ini.... " Cakra menjeda sejenak kalimatnya. "Ini terlalu tiba-tiba!"

"Kamu nggak usah terlalu over thinking, sayang!" Kirana memeluk Cakra dari belakang. "Udah waktunya juga Citra punya pendamping, biar ada yang jagain dia!"

"Dia adik kesayangan aku, Ran. Aku harus tau, laki-laki kaya apa yang berani melamar Citra. Apa dia baik? Apa dia bisa jagain Citra? Apa.... Apa dia beneran sayang sama Citra?"

"Kamu tenang aja dulu. Lamarannya lusa, kan? Kamu pasti bakal ketemu juga sama calon adik ipar kamu itu. Kamu  bisa cari waktu buat ngobrol-ngobrol sama dia, biar lebih kenal," saran Kirana.

Benar, lusa Cakra akan bertemu dengan sang calon adik ipar. Cakra harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk mengenal lebih jauh orang yang akan menjadi suami adik kesayangannya.

"Lagian aku yakin, sih, Citra nggak akan salah pilih calon suami. Pasti orang itu bukan orang sembarangan, dan yang jelas pasti orangnya perhatian sama Citra. Laki-laki itu pasti orang baik. Kalo nggak, mana mungkin Mama, Papa, sama Nena setuju," yakin Kirana.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang