Citra berubah, itu yang dirasakan orang-orang terdekat gadis itu. Kalau dulu Citra masih bisa menutupi, sekarang rasanya keadaan kian menekan hingga gadis itu tak mampu lagi berpura-pura baik-baik saja. Dia jadi lebih banyak diam, tak seceria biasanya, tidak fokus pada pekerjaannya, dan banyak menghindari orang-orang.
Yudhistira Mahadana, laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu kian hari kian terang-terangan menunjukkan ketidak-sukaannya terhadap Citra. Citra pun hanya bisa menerima perlakuan Yudhis padanya. Tentu saja dengan pemikiran yang masih sama, lebih baik dirinya yang dibenci oleh Yudhis, bukan keluarganya terutama Candra dan Cakra yang terlibat dalam manipulasi data kecelakaan Papi Yudhis.
Tadinya Citra berusaha menguatkan diri. Tapi lama-lama hatinya terseok juga. Apalagi tak ada seorangpun yang tahu keadaannya saat ini. Salahkan dirinya sendiri tidak menceritakan apapun pada siapapun. Dia tidak sampai hati menambah beban pikiran orang-orang terdekatnya.
Citra keluar dari kamar. Seperti biasa, dia berangkat pagi-pagi sekali agar tidak harus sarapan satu meja dengan Yudhis. Setelah apa yang dilihatnya di ruang pemotretan waktu itu, rasanya ada beban lain yang membelit hatinya. Beban yang menghantam hingga membuatnya sesak setiap kali mengingatnya kembali.
"Pagi, Mbak Citra!"
Sapaan Lala mengambil alih atensi Citra. Sedikit memaksakan senyumnya untuk sekedar membalas keramahan asisten rumah tangga di kediaman Mahadana itu. Ah, lebih tepatnya pelayan pribadi yang disiapkan Indy untuknya, tapi Citra menolak dengan dalih dia masih bisa melakukan apapun sendiri. Jadilah Lala hanya melayani Citra kalau butuh saja, selainnya gadis muda itu akan membantu pelayan yang lain mengerjakan pekerjaan rumah.
"Saya sudah menyiapkan bekal seperti biasa di mobil mbak Citra," ucap Lala.
"Makasih, La!"
"Sama-sama, Mbak!"
"Mami mana, La?" tanya Citra.
"Nyonya Indy?" Lala memastikan dan Citra mengangguk membenarkan.
"Bukannya nyonya semalam pamit keluar kota buat beberapa hari, ya? Memangnya mas Yudhis nggak bilang sama mbak Citra?"
Kening Citra berkerut, "Keluar kota?"
"Ada pekerjaan mendadak katanya. Semalam mas Yudhis yang antar ke bandara. Saya kira mbak Citra sudah diberi tahu mas Yudhis?" jelas Lala.
Citra tertawa miris dalam hati, tidak mungkin Yudhis memberitahu apapun padanya. Sudah dikatakan, Citra banyak menghindari orang-orang, terutama itu Yudhis, penyebab semua perubahannya. Jadi, sudah pasti mereka tidak bicara dalam beberapa waktu ini. Bertemu pun tidak.
"Mungkin mas Yudhis lupa. Dia tidur di ruang kerja semalem," dalih Citra.
"Lagi?" tanya Lala spontan.
Gadis itu polos. Terkadang dia menyuarakan isi kepalanya begitu saja. Termasuk rasa herannya terhadap sikap dua majikannya.
"Kenapa mas Yudhis jadi sering tidur di ruang kerjanya, sih, Mbak? Kamar luas, kasur nyaman, ada istri secantik bidadari yang menemani, kurang apa coba?" celoteh Lala.
Citra terkekeh. Mendengar rapalan gerutuan Lala adalah hiburan untuknya, seperti saat melihat Ranis mengomel kesal karena kelakuannya. Ah, Citra jadi merindukan Ranis. Sejak dia mulai menutup diri, dia juga menghindar dari sahabatnya itu. Citra lebih menyibukkan diri dan menolak makan siang dengan siapapun termasuk Ranis. Sebab itu dia meminta Lala membuatkannya bekal agar tak harus keluar ruangannya untuk mencari makan.
"Apa mungkin bosen, ya?" Lala mengamati Citra dari atas sampai bawah. "Apa perlu dirubah, ya?"
Citra menatap Lala horor, "Apa yang bosen? Apa yang perlu dirubah?"

KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
RomanceCitra tak pernah menyangka masa lajangnya akan berakhir lebih cepat dari perkiraanya. Pernikahannya dengan CEO tampan dan kaya raya seketika merubah hidupnya. Disaat semua orang membayangkan kehidupan mewah yang akan Citra dapatkan, tapi justru Citr...