Bagian 25

417 43 6
                                    

Dengan langkah tegap Yudhis memasuki ruangan yang beberapa waktu ini diubah menjadi studio pemotretan untuk iklan produk perusahaannya. Bukan tanpa alasan sang pemegang kedudukan tertinggi di kantor Mahadana Corporation menyambangi tempat itu. Dia ingin menemui sang penggarap iklan yang tak lain adalah istrinya sendiri.

Sejak hari dimana Citra terlambat datang ke kantornya dengan dalih pergi ke Samudera travel hanya karena rindu papanya, sikap Citra jadi sangat aneh. Berangkat kerja selalu pagi-pagi sekali, susah sekali dihubungi, dan lembur hingga pulang larut malam. Wanita itu seolah tengah menghindar untuk bertemu dengan Yudhis, suaminya.

Citra tak pernah banyak bicara lagi pada Yudhis. Terakhir mereka mengobrol hanya saat makan siang, di hari yang sama saat Citra terlambat kala itu. Setelahnya, bahkan untuk saling bertegur sapa saja, Yudhis rasa itu benar-benar kesempatan langka. Citra pergi saat Yudhis masih terlelap, dan pulang ketika suaminya itu sudah menyelam ke alam mimpi.

Bahkan ketika Citra ada jadwal pemotretan iklan di kantornya, gadis 27 tahun itu akan menyibukkan diri dan tidak ingin diganggu fokusnya yang tengah bekerja. Dia benar-benar tak memberi kesempatan untuk Yudhis menemuinya.

Tapi hari ini Yudhis tidak mau tahu, apapun yang akan Citra katakan untuk menolaknya, dia akan tetap menyeret wanita yang berstatus sebagai istrinya itu berbicara empat mata dengannya. Yudhis tidak suka dengan sikap Citra yang seperti ini. Yudhis benci bertanya-tanya dalam hati tanpa tahu jawaban pastinya.

Ya, hari ini merupakan jadwal Citra melakukan pemotretan iklan di kantornya. Seperti biasa, Citra sudah berangkat lebih awal dari rumah dengan alasan akan menyiapkan properti yang dibutuhkan--yang hanya diutarakannya lewat pesang singkat saja. Untuk itu, langkah Yudhis yang baru tiba di perusahaannya langsung tertuju pada ruangan yang hari ini seharusnya menjadi wilayah kekuasaan sang istri.

Yudhis terdiam di ambang pintu ruang pemotretan. Menatap heran ruangan yang terlihat belum ada persiapan apapun di dalamnya. Bahkan alat-alat yang biasa digunakan untuk pemotretan masih tertata rapi di sudut ruangan.

'Apa Citra ke kantornya dulu?' batin Yudhis.

"Pak Yudhis!"

Sapaan seseorang membuat Yudhistira membalikkan badannya. Netranya menangkap sosok sang asisten berjalan mendekat lalu berdiri di hadapannya dengan senyum ramah.

"Selamat pagi, Pak!"

"Pagi, Rei!" balas Yudhis.

"Bapak kenapa ada di sini? Saya sudah menyiapkan data-data untuk meeting pagi ini di meja ruangan bapak," tutur Reihan.

"Cuma mau cek persiapan pemotretan hari ini. Tapi kayanya Citra belum sampe."

Penyataan Yudhis seketika mengundang kerutan heran pada kening Reihan, "Mbak Citra belum bilang ke bapak?"

"Bilang apa?" Yudhis tampak tak mengerti.

"Pemotretan hari ini di-reschedule, Pak. Katanya mbak Citra ada pekerjaan lain yang mendesak."

Yudhis tertegun. Kenapa Citra tak mengatakan apapun padanya? Mereka satu rumah, satu kamar--meski tidak satu ranjang karena Yudhis memilih tidur di sofa, tapi dia tidak tahu apapun soal pembatalan jadwal pemotretan hari ini?

Banyak pertanyaan berputar di kepala Yudhis. Pria itu kesal, penasara, dan... Khawatir? Mungkin. Sedikit.

"Jadi, semua dibatalkan hari ini?" Yudhis bertanya, berusaha tetap terlihat tenang.

"Iya, Pak. Saya sudah memberi tahu karyawan yang terlibat, termasuk mbak Livia."

Yudhis hanya mengangguk paham saja. Tak berniat mengeluarkan sepatah katapun lagi.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang