Bab 37

439 40 9
                                    

Cakra tidak pernah memberi perhatian pada orang lain sebesar dia memperhatikan sang adik, Citra Maharani. Baginya, Citra adalah segalanya. Sulung Perwira itu akan mempertaruhkan segalanya untuk menjamin adik kesayangannya itu tetap dalam keadaan aman dan baik-baik saja.

Seperti saat ini. Beberapa jam lalu sepupunya, Candra, menelepon memberitahunya kalau Citra tengah berada di kantor polisi untuk dimintai keterangan tentang kecelakaan lalu lintas yang melibatkan mobil atas nama gadis itu. Tanpa pikir panjang Cakra segera bertolak dari Bogor ke Jakarta, meninggalkan proyek yang menjadi tanggung jawabnya.

Tujuan pertamanya bukan kantor polisi, Cakra sudah menyerahkan urusan di sana pada Candra. Kakak Citra Maharani itu langsung menuju Perwira travel, guna meminta bantuan pada Arthur Perwira, pamannya.

Bukan tanpa alasan Cakra lebih memilih menemui Arthur ketimbang memberitahu orang tuanya tentang apa yang terjadi pada Citra. Tentu saja itu karena papanya, Arnesh Perwira, sedang ada pekerjaan di Bandung dan menyerahkan tanggung jawab Samudera travel pada sang adik. Lebih dari itu, Cakra tidak ingin membuat orang tuanya khawatir. Dia yakin bisa mengatasi semuanya tanpa campur tangan  mereka.

Sampai di Perwira travel, ternyata Arthur sedang tidak sendiri di ruangannya. Ada Livia juga di sana, sedang mengobrol santai dengan papanya. Tadinya Cakra ingin mengurungkan niat ketika melihat sang sepupu ada di sana. Tapi mengingat Citra yang sedang menunggu dibebaskan dari tuduhan, Cakra mengabaikan rasa tidak enaknya lalu menceritakan semuanya pada Arthur.

"A-apa? M-mobil... K-kak Cakra yakin mobil itu yang..."

Cakra mengangguki perkataan Livia yang tiba-tiba tergagap, "City car merah atas nama Citra, mobil itu yang jadi penyebab kecelakaan sampai pengemudinya meninggal di tempat."

Kepala Livia bagai dipukul palu ribuan ton. Tatapannya tiba-tiba kosong dengan wajah blank. Dia kaget setengah mati. Dan semua ekspresi Livia itu tak luput dari perhatian Arthur, sang Papa.

"Kenapa Livia?" tanya Arthur. "Kenapa kamu tiba-tiba tegang begitu? Wajah kamu pucet, apa kamu sakit?"

Livia beralih menatap Arthur, "P-pa, maaf.."

Kening Arthur berkerut, "Kenapa kamu minta maaf begitu? Papa nggak ngerasa kamu berbuat salah!"

"M-mobil itu... I-itu... Aku pinjemin ke Kirana. D-dia..."

"Kamu pinjamkan mobil Samudera travel tanpa ijin dari Papa?" sahut Arthur cepat.

Livia tertunduk, "M-maaf, Pa!"

"Astaga, Livia! Berkali-kali Papa bilang, kalo temen kamu mau pinjem mobil tanpa biaya jasa, pake mobil Papa! Jangan pake milik travel!" tagur Arthur.

"Mobil Papa lagi diservis. City car yang di sini juga lagi dipake semua. Jadi, karena Samudera travel lagi ada dalam pengawasan Papa, Livia..."

"Kamu pinjemin mobil itu ke temen kamu dan sekarang temenmu itu bikin masalah dengan nyeret-nyeret nama Citra?! Otakmu dimana, Livia?!" timpal Cakra penuh emosi. 

"Sabar, Cakra, kita bicarain baik-baik!" pinta Arthur.

Cakra menatap tajam adik angkat papanya, "Gimana Cakra bisa sabar kalo adek kesayangan Cakra sekarang lagi ketakutan di kantor polisi, Om?!"

"Om pasti bantu kamu. Om juga nggak akan biarin keponakan Om yang nggak tau apa-apa, dituduh dijadikan tersangka atas perbuatan yang nggak dia lakuin!" Arthur meyakinkan.

"Tapi Kirana temen Livia, Pa. Dia juga harus dilindungi. Dia udah nggak punya siapa-siapa. Kirana juga pasti ketakutan sekarang!" Livia mencoba membela sang sahabat.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang