Bab 48

633 61 4
                                    

Citra berjalan perlahan memasuki lobi bandara. Di sisi kanannya, ada Candra yang tengah sibuk menelepon sembari mengimbangi langkah sang sepupu. Sementara di sisi kiri, ada Santi, Gendhis, juga Ranis. Tiga orang itu menampilkan raut wajah yang sama, muram dan sedih. Tak lain penyebabnya adalah dua orang bersaudara Citra dan Candra. Ah, tidak! Citra saja. Keputusannya meninggalkan tanah air membuat semua orang benar-benar terkejut.

Kelima orang itu berhenti di depan pintu masuk ruang tunggu bandara. Tiga orang selain Candra, mengerubung di depan Citra, menatap gadis itu dengan tatapan sendu. Sedangkan Citra sendiri kini malah memasang senyum simpul--yang mereka tahu kalau itu bukanlah sebuah senyuman tulus.

"Lo yakin sama keputusan lo ini?" tanya Ranis, meyakinkan lagi sang sahabat akan keputusannya.

Citra mengangguk, "Gue butuh sedikit suasana baru. Setelah perasaan gue lebih baik, gue pasti balik lagi."

"Kapan?" kali ini Santi yang bertanya. "Kapan kamu mau kembali?"

"Citra belom tau, Nena. Bisa jadi sebulan, dua bulan, atau setahun. Yang jelas, Citra pasti pulang selama apapun Citra pergi." jawab Citra yakin.

"Kamu nggak sedih ninggalin Nena? Nggak bakal kangen sama Nena? Nggak kangen kue-kue buatan Nena?"

"Citra pasti kangen Nena, kangen kue-kue Nena, kangen semua yang ada di sini. Citra juga sedih ninggalin kalian, tapi..." Citra menatap satu persatu tiga orang berharga di depannya. "Tapi Citra butuh waktu buat diri Citra sendiri saat ini. Tolong ngertiin Citra, ya?"

Santi menghela nafas panjang, laku mengangguk pelan. Dia bisa apa kalau keputusan Citra sudah bulat. Bahkan dia menjawab pertanyaannya tanpa ragu sama sekali. Santi yakin, Citra sudah memikirkan semuanya sebelum mengambil keputusan.

Mata Citra beralih pada sang mama yang sedari tadi tidak bersuara. Wanita itu hanya menatapnya dengan tatapan sendu. Sejak dirinya memberitahu tentang keberangkatannya ke Singapura pada kedua orang tuanya, Gendhis sama sekali tidak menentangnya. Wanita itu hanya diam dan berusaha bersikap biasa. Walau begitu, Citra tahu kalau mamanya itu sedang menyimpan sakitnya sendiri.

Citra dengan cepat memeluk Gendhis. Sesaat istri Arnesh Perwira itu terdiam, mungkin terkejut, tapi setelahnya langsung membalas pelukan sang putri. Diusapnya punggung sempit Citra dengan penuh kasih sayang. Dihelanya nafas panjang, berusaha mengenyahkan sesuatu yang menyesakkan dada.

"Hati-hati di sana!" ujar Gendhis. "Kalo ada apa-apa, segera hubungi mama, papa, atau kakakmu. Jangan gegabah, jangan ngerepotin Candra. Ngerti?"

Citra mengangguk sembari melepas pelukannya, lalu tersenyum lebar, "Citra nggak mungkin ngerepotin Candra, Ma. Kan, udah tugas Candra jagain Citra di sana. Jadi, nggak mungkin dia ngerasa direpotin. Iya, kan, Can?"

Candra yang masih sibuk dengan ponselnya hanya berdeham saja sebagai jawaban. Entah siapa yang dihubunginya. Sepertinya sepupu Citra itu sedang mengurus sesuatu yang penting.

"Udah sukanya ngerepotin, hobi bikin kesel orang, suka malakin duit lagi! Awas aja sampe lo bikin Candra bangkrut!" ancam Ranis main-main, membuat Citra terkekeh.

"Tenang aja, mas Candramu itu nggak bakal bangkrut biarpun gue minta dia beliin gue satu mall seisi-isinya. Duit dia buanyak!"

"Sebanyak apapun, kalo lo mintain terus, bisa habis juga. Makan apa gue sama anak-anak gue nanti?!" sewot Rani.

"Kaya lo yang bakal jadi istrinya aja!" cibir Citra.

"Kalian ini, bisa-bisanya di bandra gini malah berantem!" omel Santi.

"Buat yang terakhir, Nena. Nanti di sana nggak akan ada yang bisa Citra ajakin berantem soalnya!" alibi Citra.

Ranis mendengus, "Makanya, ngapain juga lo pergi jauh-jauh? Tar kangen gue, lo nangis, lagi!"

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang