Bagian 26

407 33 4
                                    

Citra tak pernah berada di posisi seperti ini sebelumnya. Tak pernah terbayang dirinya akan mengecewakan orang-orang terdekatnya hingga terbebani oleh rasa bersalah. Gendhis dan Indy, dua orang yang menjabat sebagai ibu dan ibu mertua gadis yang kini tengah duduk di atas brankar dengan kepala tertunduk, sama-sama menatap Citra dengan raut sendu.

Citra tahu, tanpa keduanya berucap, dua wanita tengah baya itu sedang memendam kecewa karena apa yang mereka ekspektasikan tidak menjadi realita. Mereka berharap Citra hamil, tapi kenyataannya itu tak akan pernah mungkin terjadi, selama laki-laki yang menjadi suaminya tak pernah menyentuhnya.

Beberapa saat lalu, dokter yang menangani Citra menjelaskan bagaimana keadaan pasiennya itu. Seperti yang Citra katakan pada Indy sesaat setelah sadar, dia tidak hamil. Hanya asam lambungnya yang naik hingga membuatnya pusing dan mual.

"Maaf!" cicit Citra.

"It's okey, Citra. Kalian masih muda, masih banyak waktu buat usaha dapetin anak," Indy yang duduk di samping brankar yang ditempati Citra, mencoba menenangkan sang menantu.

"Dan lagi, pernikahan kalian masih seumur jagung. Banyak yang lebih lama dari itu, belum juga dikasih momongan sampe sekarang. Jangan sedih, ya!" tambah Indy.

Citra mengangguk tersenyum miris. Mertuanya itu tidak tahu saja kalau dia dan anaknya bahkan tidak tidur di satu ranjang yang sama.

"Mama nggak masalah soal kapan kamu mau punya anak, Citra. Tapi mama nggak suka kamu kerja terlalu keras sampe lupa makan terus jatuh sakit begini!" kali ini Gendhis angkat suara.

Citra beralih menatap netra sang mama yang berdiri di belakang Indy, "Citra lagi ngejar deadline, Ma. Citra nggak mau ngecewain klien Citra kalo sampe molor waktunya!"

"Kamu pasti tau, papa kamu paling nggak suka anak-anaknya bekerja over-time! Kamu pasti juga tau, apa akibatnya kalo kamu terus-terusan keras kepala begini, kan?" tegur Gendhis.

Citra kembali tertunduk, "Citra tau! Maaf, udah bikin mama kecewa!"

"Bu Gendhis," Indy yang berdiri lalu menyejajarkan diri dengan Gendhis. "Citra masih masa pemulihan, jangan dimarahi terlalu keras."

"Dia ini keras kepala, Mbak. Seneng banget bikin orang lain khawatir. Harus dimarahi dulu, baru dia sadar!" Gendhis mengomel.

"Saya tau, tapi ini bukan waktu yang pas!"

Indy menarik lengan Gendhis untuk beranjak, "Kita ke kantin, ya? Kita cari minuman buat tenangin diri. Biar Citra istirahat dulu."

Gendhis menghela nafas untuk menghalau segala emosi buruk yang tengah merundung, sebelum kemudian mengangguk menyetujui ajakan Indy.

Atensi Gendhis beralih pada sosok pemuda yang berdiri tak jauh dari pintu masuk, yang sedari tadi berdiri mematung dengan tatapan lurus tertuju pada Citra.

"Candra, Tante titip Citra, ya! Tante sama tante Indy mau ke kafetaria bentar," pinta Gendhis.

Candra mengangguk, "Iya, Tante!"

Setelah mendapat persetujuan dari Candra, dua wanita tengah baya itu berlalu dari ruangan Citra. Menyisakan dua bersaudara yang kini saling melempar pandangan.

Dengan gerak perlahan Candra beranjak menghampiri Citra, lalu duduk di samping ranjang pesakitan. Matanya masih menatap wajah sepupu kesayangnya yang masih terlihat pucat.

"Kalo gue tau lo bakal berakhir di sini, gue nggak akan ceritain semuanya ke lo!" Candra angkat bicara.

Citra berdecak sebal, "Bukan karena itu gue di sini. Lo denger sendiri kan tadi, asam lambung gue naik karena gue makan nggak teratur!"

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang