Bagian 20

843 55 2
                                    

Adi Candra Sanjaya duduk di sofa ruang tamu apartemennya sembari menyeruput kopi susu buatannya sendiri. Setelah meletakkan kembali cangkir berisi cairan coklat di dalamnya itu ke atas meja, atensi Candra beralih pada seorang wanita yang kini duduk berseberangan dengannya.

"Jujur, gue masih heran sama lo, Cit!" ungkap Candra pada wanita itu.

Ya, dia Citra. Siang itu Citra benar-benar menemui Candra. Gadis itu tidak berbohong kalau dia memang benar rindu pada sepupunya. Lebih dari itu, dia ingin memastikan sesuatu yang hanya bisa Citra dapatkan di apartemen pemuda 29 tahun itu.

Kening Citra berkerut, "Apa?"

"Kenapa secepet itu lo mutusin buat nikah?"

Citra mengendikkan bahunya, "Ya, gue pikir emang udah waktunya aja gue nikah!"

"Sesimpel itu?"

Citra mengangguk.

"Nggak ada alasan lain?"

Citra menggeleng.

"Tapi..." Mata Candra memicing. "Bukannya lo sama suami lo itu baru kenal, ya?"

"Emangnya nggak boleh, gue nikah sama orang yang baru gue kenal? Yang penting gue nyaman, dan dia mau bertanggung jawab atas hidup gue. Yang pacaran bertahun-tahun aja belum tentu hidup bahagia setelah menikah!" celoteh Citra.

"Cit, gue tau pikiran lo kadang kurang waras, tapi gue nggak nyangka lo bisa melakukan hal segila ini. Menikah sama orang asing. Lo pikir pernikahan itu hal main-main?"

"Dia bukan sepenuhnya orang asing. Sebelumnya, dia itu klien gue," ujar Citra. "Dan gue nggak pernah main-main soal pernikahan ini, asal lo tau!"

"Lo yakin dia nggak ada maksud tertentu? Ini terlalu mendadak dan... Aneh?" Candra mengendikkan bahu. "Entahlah, tapi gue merasa begitu!"

"Can, gue kan kemaren udah bilang, dia sama maminya sangat baik ke gue. Gue yakin mereka nggak akan nyakitin gue!" yakin Citra.

"Tapi kenapa gue masih ngerasa ada yang janggal, ya?" Candra masih saja curiga.

Citra tahu sepupunya tidak akan semudah itu menerima alasan yang dijabarkannya saat di puncak waktu itu. Candra terlalu peka, dia selalu tahu jika Citra sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Dan Candra pasti akan terus mendesak Citra sampai wanita itu jujur.

"Nggak ada yang janggal, Candra. Lo aja yang terlalu berpikir buruk!"

Candra membenahi posisi duduknya menjadi sedikit condong ke depan kemudian menatap Citra lekat, "Lo bisa nggak jujur ke Bang Cakra. Tapi lo nggak bisa bohong sama gue, Cit!"

"Can..."

"Gue tau, sampai sekarang lo belom punya perasaan apa-apa ke dia. Iya, kan? Dan gue yakin, dia nikahin lo bukan karena kemauannya sendiri!" tebak Candra, tepat sasaran.

Citra terdiam, menatap tepat pada manik jelaga milik pria 29 tahun di depannya itu. Apa bisa dia berkeras untuk tidak berkata jujur pada Candra? Sedangkan sepupunya itu terus menguarkan aura dominan yang membuat Citra semakin terpojok.

"Apa gue bener?"

Citra menunduk. Sikap dan keterdiaman Citra sudah menjadi jawaban bagi laki-laki 29 tahun itu.

"Jadi...." Candra menyandarkan punggungnya di sandaran sofa sembari melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa alasan lo dan dia sepakat buat menikah?"

"G-gue..."

"Karena uang?"

Citra melirik sinis, "Lo pikir selama ini gue hidup susah, sampe harus nikah demi duit?"

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang