Bab 34

444 48 9
                                    

Arnesh Perwira memang tidak sepeka Gendhis Aluna, sang istri, yang bisa merasakan firasat jika anak-anaknya dalam keadaan yang kurang baik. Tapi dia sangat hapal bagaimana tabiat dan karakter setiap anaknya. Cakra dengan kedewasaan juga kebijaksanaannya, serta Citra dengan keceriaan dan kesantaiannya.

Arnesh juga merupakan seorang pengamat yang sangat detail, apalagi itu berkaitan dengan orang-orang yang dia sayangi. Sedikit saja ada perubahan yang terjadi, dia bisa mengetahuinya. Dan itu yang sekarang tengah di rasakannya, ada yang berubah dari salah seorang kesayangannya.

Citra Maharani, putri bungsu kesayangannya itu nampak berbeda dari yang di kenal. Senyumnya tak setulus biasanya. Tidak ada binar ceria di manik kesukaannya itu. Dan juga, dimana celotehan riang khas seorang Citra Maharani pergi? Dia lebih pendiam hari ini.

Siang itu entah ada angin dari mana, Citra berkunjung ke kantor Arnesh dengan dalih ingin mengajak laki-laki paruh baya itu makan siang bersama, kangen katanya. Arnesh tentu saja langsung menyetujui apa yang jadi keinginan putrinya itu. Selain karena dia merindukan Citra, Arnesh juga ingin tahu apa yang menjadi tujuan Citra sebenarnya. Pasalnya, sejak anak bungsunya itu menikah, Citra tidak pernah lagi berkunjung ke kantornya seperti saat sebelum menikah dulu. Sibuk dengan pekerjaan dan keluarga barunya, pikir Arnesh. Lalu ini apa? Kenapa Citra tiba-tiba datang tanpa memberitahu lebih dulu?

Sepertinya Citra sudah merencanakan perihal acara makan siang berduanya dengan sang Papa. Dia membawa bungkusan makanan saat datang tadi, dan sudah meminta OB untuk mengantarkan piring serta minuman ke ruangan papanya. Setelah semua siap, mereka pun mulai melahap hidangan yang tersaji di meja kecil di depan sofa ruangan Arnesh.

Makanan tandas hanya dalam waktu 15 menit. Citra sengaja tidak membawa banyak makanan tambahan karena memang dia hanya akan memakannya berdua saja dengan sang Papa. Lebih dari itu, niatnya bertandang ke Samudera travel bukan hanya untuk itu saja. Ada hal lain yang ingin dia diskusikan dengan Arnesh.

"Pa..." panggil Citra setelah memberesi piring serta bungkus makanan di meja.

Tanpa menjawab, Arnesh menatap sang buah hati dengan tatapan seolah bertanya, 'ada apa?'.

"Sebenernya Citra ke sini mau tanya sesuatu sama Papa," ungkap Citra.

Arnesh tersenyum tipis, "Katakan, Papa akan jawab kalo Papa tau."

"Emmm... I-itu...."

Citra tidak tahu harus mulai bertanya dari mana. Pikirannya dari tadi masih sibuk mencari kalimat yang pas untuk mengutarakan maksudnya pada sang Papa.

"Nggak usah ragu. Papa tau kamu ke sini pasti ada sesuatu hal yang penting. Cepet katakan!" pinta Arnesh mencoba memberi keyakinan pada sang putri. Arnesh tahu Citra sedikit ragu.

Citra menghela nafas lalu merogoh ponselnya dari dalam tas, sejenak fokus di sana, lalu menyerahkan benda pipih itu ke sang Papa.

"Papa masih inget mobil ini?" tanya Citra. "Ini salah satu mobil atas nama Citra yang disewakan di sini. Papa inget?"

Arnesh mengamati layar ponsel Citra yang menampilkan sebuah mobil jenis city-car berwarna merah. Dahinya berkerut, mencoba mengingat.

"Aah, mobil ini!" Arnesh mengangguk. "Ya, Papa inget. Mobil ini udah dibeli sama Om kamu beberapa tahun lalu. Katanya, Livia ingin mobil itu karena suka sama model dan warnanya."

Citra mengernyit heran, "Dibeli Om Arthur? Buat Livia? Kenapa nggak beli yang baru?"

Arnesh mengendikkan bahu, "Entahlah. Papa pikir itu bukan mobil yang sering disewa, jadi Papa biarkan aja. Ada apa sama mobil itu? Kenapa kamu tanyain?"

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang