Bagian 30

418 39 2
                                    

Yudhis memasuki rumah dengan langkah lebar. Citra yang membuntut di belakang sedikit keteteran mengikuti sang suami. CEO tampan itu masuk ke dalam kamar, hampir membanting pintunya dengan keras kalau saja Citra tidak menahan.

"Kamu kenapa, sih, Mas? Marah? Harusnya yang marah itu aku, Mas!"

Dua orang berstatus suami istri itu saling melempar tatapan tajam. Mereka tengah dikuasai emosi yang sama-sama tinggi. Apalagi penyebabnya kalau bukan kejadian terakhir di kediaman Arnesh Perwira sebelum Citra menyeret Yudhis pulang.

"Gimana bisa kamu yang harus marah? Sikapmu itu yang aneh, nyeret-nyeret ngaja pulang tiba-tiba, kamu pikir aku nggak malu, hah?!"

"Lebih malu mana kalo ada yang tahu kamu berduaan sama wanita lain?" tukas Citra.

"Apa maksudmu?" Yudhis tak paham.

"Kamu sama Livia di taman belakang rumah Papa tadi, apa namanya kalo bukan berduaan?"

"Astaga!" Yudhis mengusap wajahnya kasar. "Saya dan Livia nggak ada apa-apa!"

"Nggak ada apa-apa tapi pakai peluk-pelukan segala? Kamu kira aku bodoh, Mas?" cecar Citra.

"Itu nggak seperti yang kamu pikir!" Yudhis masih berusaha mengelak.

Citra berdecih, "Memangnya kamu tau apa yang aku pikirin?"

"Mana saya tau! Yang jelas, kamu lagi berpikir buruk tentang saya!"

Citra menghela nafas lelah, "Mas, aku tau kamu nikah sama aku karena Mami. Aku juga sadar diri siapa aku menurutmu. Aku nggak akan marah kalo memang kamu suka sama orang lain. Tapi, bisa nggak kamu nggak terlalu jelas nampakin itu semua di depan keluargaku?"

"Mau kamu suka sama Livia atau cewek lain, mau kamu menjalin hubungan sama siapapun, aku nggak peduli. Tapi, jangan di depan keluarga kita. Kamu pasti tau gimana berharapnya Mamimu dan keluargaku sama pernikahan kita, kan?" sambung Citra.

Yudhis diam. Tadinya Yudhis berpikir Citra marah karena cemburu. Terbersit sedikit rasa senang di hati pria 30 tahun itu. Tapi mendengar penuturan Citra barusan, membuat emosi Yudhis kembali muncul.

Yudhis terkekeh sinis, "Astaga, ternyata kamu dan keluargamu itu sama aja, ya? Sama-sama gila hormat!"

Kening Citra berkerut, "Apa maksudmu, Mas? Gila hormat apanya?"

Raut wajah Yudhis berubah datar dan dingin, "Hanya demi menjaga nama baik, kalian rela lakuin apapun termasuk nyembunyiin kebusukan sebuah bangkai!"

Citra tertegun. Dia bukan orang bodoh yang tidak mengerti apa maksud perkataan Yudhis.

"M-mas, aku..."

"Mulai malem ini saya tidur di ruang kerja saya!" putus Yudhis.

Mata Citra membulat, "Mas! Apa-apaan, sih? Kalo Mami tau gimana?"

"Itu masalahmu!" Yudhis mulai beranjak mengambil bantal dan selimut cadangan di lemari. "Seharusnya udah dari awal saya lakuin ini. Atau..."

Yudhis melangkah menuju pintu lalu berhenti sebelum keluar kamar.

"Atau seharusnya kita memang nggak usah nikah!"

BLAM!

Citra hanya diam. Dia hanya diam ketika dirinya kembali diselimuti ketakutan. Dia hanya diam ketika pintu kamar dibanting keras oleh suaminya. Dia hanya diam ketika hatinya sakit. Ya, Citra hanya harus diam dan semua akan baik-baik saja.

Ya, benar begitu!

Semua akan baik-baik saja.

Iya, kan?

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang