Bab 38

532 59 32
                                    

"Ssshhhhh!"

Citra meringis menahan perih saat kapas basah menyentuh sudut bibirnya yang lebam. Pukulan Livia memang tidak main-main. Dia yakin, kalau Cakra melihat ini, laki-laki itu pasti akan murka karena adik kesayangannya disakiti sampai pipinya bengkak membiru.

"Nggak usah cengeng! Luka begini aja sok kesakitan!" hardik Yudhis dengan tangan masih terus bergerak membersihkan luka sang istri.

Citra mendengus, "Ini sakit beneran, Mas! Coba Mas Yudhis yang begini, pasti juga kesakitan!"

"Saya nggak secengeng kamu!"

"Aku nggak bilang mas Yudhis cengeng, aku bilang mas Yudhis pasti kesakitan!"

"Terserah! Tapi saya nggak selemah kamu!"

"Aku cewek kalo kamu lup--AAW!" Citra menatap nyalang pada Yudhis yang sengaja menekan lukanya dengan kapas. "Sakit, Mas!"

"Makanya diem! Salah sendiri lagi diobatin, kamunya ngomong terus!" ucap Yudhis sembari mengolesi luka Citra dengan salep antiseptik.

Setelah selesai mengobati luka Citra, Yudhis memberesi kotak P3K yang tadi diambilnya dari sudut ruang kerja Citra, lalu mengembalikan ke tempat asalnya. Yudhis kembali duduk di samping Citra sambil menghela nafas lelah. Seakan kegiatan mengobati sang istri adalah pekerjaan yang menguras tenaga.

"Makasih, tadi Mas Yudhis udah belain aku!" ucap Citra memecah hening yang sempat terjadi sesaat.

Yudhis melirik Citra sekilas lalu menyeringai sini, "Siapa yang belain kamu? Saya hanya lakuin apa yang seharusnya saya lakuin sejak dulu. Dia orang yang udah bikin Papi meninggal."

Citra menunduk, seketika dia teringat perbuatan kotor yang telah dilakukan Candra dan Cakra. Walau bukan pelakunya, tetap saja apa yang dulu diperbuat Candra dan Cakra adalah perbuatan yang melanggar hukum.

"Maaf!" cicit Citra. "Tolong, maafin kak Cakra dan Candra. Maafin mereka yang udah berbuat hal yang buruk dulu!"

"Maaf?" Yudhis menaikkan sebelah alisnya. "Kamu pikir semudah itu?"

Citra mengangkat wajahnya, menatap Yudhis dengan mata berkaca-kaca, "Aku tau perbuatan mereka itu nggak akan mudah untuk dimaafkan. Tapi mereka lakuin itu buat aku. Jadi, benci aja aku. Kalau perlu, hukum aku sebagai gantinya. Jangan mereka. Aku mohon!"

Yudhis menoleh sepenuhnya pada Citra, menatap manik yang kini berpendar penuh kesedihan dan ketakutan. Hati Yudhis sakit melihat mata sang istri yang nampak basah. Sakit karena bungsu Perwira itu memohon dengan sangat tulus untuk kebebasan dua orang saudaranya, dan rela mengorbankan dirinya sendiri. Sangat sakit, karena orang sebaik Citra harus berada di tengah-tengah keluarga yang Yudhis sangat-sangat benci untuk saat ini.

Yudhis mendengus lalu memalingkan wajah, "Saya nggak akan bisa menghukum orang yang nggak bersalah. Dimana-mana, yang bersalah yang harus nerima akibat perbuatannya!"

"Kalo harus ada yang disalahkan, aku orangnya. Aku yang terlalu lemah, sampe kakak sama sepupuku harus melakukan kesalahan cuma buat ngelindungin aku. Akulah penyebab mereka berbuat hal seburuk itu. Jadi, tolong lepaskan mereka! Aku siap menerima semua konsekuensinya!" Citra bersikeras.

"Apalagi, kak Kirana lagi hamil. Dia sangat butuh kak Cakra di sampingnya. Ku mohon, Mas! Biarkan aku gantiin kak Cakra. Dia udah banyak mempertaruhkan segala hal untukku!" tambah Citra, kali ini dengan air mata yang sudah meleleh di pipinya.

Mengingat Cakra, sungguh hati Citra merasa lemah. Laki-laki itu selalu ada untuknya, selalu melindunginya, bahkan rela melakukan apapun hanya untuk Citra tetap bahagia. Dan sekarang, ketika Cakra sedang menjemput kebahagiaan bersama sang istri, menanti buah hati mereka, mana mungkin Citra tega melihat semua itu hancur. Ini saat dia membalas budi baik kakaknya selama ini, pikir Citra.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang