Bab 39

515 55 9
                                    

Suasana ruangan bernuansa abu-abu itu hening. Hanya deru suara AC yang terdengar konstan. Dua orang yang ada di sana hanya duduk dan saling diam dengan tatapan saling beradu. Mereka sedang bergelut dengan pikiran serta perasaan masing-masing.

Pagi ini Cakra bangun dengan keadaan linglung. Kepalanya masih pusing akibat mabuk parah semalam. Setengah jam kemudian Cakra baru bisa mencerna keadaan, baru sadar kalau dia sedang tidak berada di kamarnya sendiri. Kepalanya semakin berdenyut saat sulung Perwira itu mencoba mendudukkan diri. Setelah berhasil duduk, matanya langsung bertemu tatap dengan milik Candra yang tengah duduk di sofa sembari memperhatikannya. Entah sudah berapa lama orang itu di sana.

Cakra tahu, dari kilat tajam matanya, Candra menginginkan sebuah penjelasan. Hanya saja dia tidak tahu, penjelasan untuk hal apa, yang ingin di demgar Candra. Sedari tadi anak dari pamannya itu diam saja. Tapi melihat dia ada di apartemen Cakra setelah semalam menghabiskan waktu di club, ada satu hal yang terlintas di pikirannya.

"Gue kenapa?" tanya Cakra, memecah hening.

Candra mendengus, "Seharusnya gue yang tanya begitu. Bang Cakra kenapa bisa sampe mabuk di club malam? Ada masalah apa?"

Cakra tak menjawab. Pria itu malah menengadahkan wajahnya ke atas, menatap langit-langit kamar sepupunya sembari menghela nafas panjang.

"Bang Cakra nggak pernah kaya gini. Malah antipati sama yang namanya minuman keras. Gue yakin, lo pasti lagi ada masalah yang bener-bener rumit, sampe lo berani melanggar prinsip hidup lo sendiri!" tambah Candra.

"Gue nggak tau harus mulai cerita dari mana, Can!" ujar Cakra tanpa mengalihkan pandangan pada lawan bicaranya.

"Apa ini soal Citra sama Kirana?"

Mendengar dua nama itu disebut, Cakra langsung menurunkan pandangan dan menatap Candra dengan mata membulat kaget.

"Kecelakaan itu, apa Kirana orangnya? Yang nyewa mobil itu?"

Tebakan Candra semakin membuat kakak dari Citra Maharani itu terpekur.

"G-gimana bisa..."

"Jadi bener?" Candra menyeringai sinis. "Ternyata lo emang udah bener-bener buta cuma karena cinta lo itu, Bang!"

Cakra tertunduk, "Gue... Sekarang gue nggak tau harus gimana. Gue bingung. Citra adik gue, lalu Kirana, dia istri gue. Mereka sama-sama berharga. Gue nggak mungkin ngorbanin salah satunya!"

"Nggak ada yang minta lo ngorbanin mereka, Bang. Lo cuma harus jujur sama Citra soal Kirana!"

"Itu nggak mungkin!" Cakra menggeleng. "Ini pasti akan lebih sulit buat Citra."

"Kenapa sulit? Citra bukan orang yang akan mempersulit keadaan. Dia nggak akan bikin lo kesusahan cuma karena tahu  Kirana adalah penyewa mobil itu."

"Tapi masalahnya nggak sesimpel itu, Can!" Cakra meremas rambutnya frustasi. "Ini bukan cuma soal Citra. Ini soal Yudhistira Mahadana!"

Kening Candra berkerut bingung, "Yudhistira? Apa hubungannya sama dia?"

"Sejak awal aku udah curiga, pria itu buru-buru menikah sama Citra pasti ada maksud tertentu. Ternyata bener!"

Tangan Candra mengepal serta rahangnya mengeras. Menyinggung soal pernikahan Citra yang menurutnya janggal, laki-laki itu tiba-tiba punya feeling yang buruk.

"Apa?" Candra menuntut penjelasan lebih banyak.

"Korban kecelakaan itu, dia adalah ayah dari Yudhistira Mahadana. Dan dia menikahi Citra hanya untuk balas dendam..."

BUG!

Satu bogeman dari Candra berhasil mengenai pipi kanan Cakra hingga tubuh pria itu oleng menghantam kepala ranjang.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang