Bab 43

622 55 11
                                    

Yudhis duduk di sofa ruang keluarga sambil menonton acara tv--hal yang sudah hampir tidak pernah dilakukannya dewasa ini. Kepalanya sesekali menengok ke arah kamar Indy, sang mami, yang pintunya kini tertutup rapat. Beberapa kali terdengar helaan nafas pemuda Mahadana itu. Ada raut sebal di wajah tampannya, walau tidak terlalu ketara.

Bukan tanpa sebab Yudhis bersikap demikian. Sudah hampir satu jam Indy mengurung dirinya dan Citra di ruang pribadinya itu. Setiba di rumah, maminya Yudhis itu langsung mengajak sang menantu bicara empat mata tanpa melibatkan Yudhis. Padahal Yudhis juga ingin mengajak istrinya itu membicarakan beberapa hal, malah didului Indy. Kan, jadi sebal.

Sambil menunggu dua wanita di dalam sana selesai dengan apapu kegiatan mereka, Yudhis mengganti-ganti asal saluran tv di depannya. Semua siarannya tidak ada yang menarik. Hanya siaran berita malam yang sedikit membuat pemuda itu menaruh minat untuk menyaksikan.

"Mas Yudhis mau dibikinkan teh hangat?" tawar Lala yang kebetulan lewat dan melihat majikannya tampak sedang santai di depan layar lebar di ruang keluarga.

Yudhis melirik Lala sekilas kemudian menggeleng, "Nggak perlu, La. Kamu kalo mau istirahat, istirahat aja!"

Bukannya segera beranjak, Lala kini malah memperhatikan gerak-gerik Yudhis. Dari ketidak fokusannya pada siaran tv, sampai curi-curi tengok ke arah pintu kamar Indy, semua tidak luput dari pengamatan Lala.

"Mas Yudhis nunggu nyonya keluar kamar?" tanya Lala. "Pasti nyonya udah tidur. Ada yang mau dibicarakan? Mau saya panggilkan? Atau mau say...."

"Saya lagi nonton tv, kamu nggak lihat?" potong Yudhis dengan lirikan mata tajam mengarah ke Lala.

"Nonton tv tapi matanya lirik-lirik ke arah  kamarnya nyonya terus!" cibir Lala bergumam.

"Saya denger, Lala!"

Lala meringis, "Ya, maaf. Habisnya, omongannya mas Yudhis nggak sesuai fakta!"

Kening Yudhis berkerut, "Maksudmu gimana?"

"Katanya nonton tv, tapi dari tadi mas Yudhis lihatin ke kamarnya nyonya terus!"

Yudhis mendengus, "Suka-suka saya. Mata-mata saya!"

Lala menghela nafas pasrah. Tak berani menjawab lagi meski hati ingin sekali berkata, 'Iya, deh, iya. Mas Yudhis selalu benar!'

Cklek

Pintu kamar Indy terbuka, membuat Yudhis dan Lala menoleh bersamaan ke arah yang sama. Indy keluar lebih dulu kemudian Citra menyusul di belakang.

"Ooh, ternyata ada mbak Citra juga di dalem. Pantesan ada yang galau nungguin pintu!" cibir Lala.

Merasa tidak direspon, pelayan muda itu mengalihkan atensinya pada Yudhis yang tengah terdiam menatap dua wanita yang kini berjalan menuju ke arahnya.

"Haaah, lagi terpesona ternyata!" cibir Lala lagi.

Karena tidak ingin menganggu waktu pribadi tiga majikannya, Lala pun memutuskan kembali ke kamarnya. Toh, tadi sudah diijinkan istirahat oleh Yudhis. Lagi pula, ini sudah lewat jam makan malam, para nyonya dan tuannya itu tidak akan meminta untuk dibuatkan makanan atau minuman pada jam larut begini. Biasanya mereka akan membuat minuman sendiri kalau mereka butuh.

Yudhis masih terdiam ketika Indy duduk di sebelahnya. Matanya terus memperhatikan maminya itu dengan seksama. Wanita itu diam saja, ada kesedihan dan kekecewaan di matanya. Wajah Indy juga terlihat sembab, seperti habis menangis. Kepala Yudhis jadi penuh pertanyaan, apa yang mami dan istrinya bicarakan di kamar tadi?

Yudhis beralih menatap Citra. Gadis itu tersenyum saat manik mata mereka bertemu. Tapi rasanya senyum itu tidak sampai ke mata Citra. Ada pendar sendu di matanya. Walau Yudhis tak yakin, hidung Citra sekilas tampak memerah meski tidak terlalu ketara. Apa keduanya habis menangis bersama?

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang