Bab 46

548 49 4
                                    

Candra berjalan tergesa memasuki mansion milik Arnesh Perwira. Mengabaikan sapaan para penjaga dan pelayan, dia hanya terus berjalan. Tujuann utamanya adalah kamar Citra. Dia harus menemui sepupunya itu sesegera mungkin untuk tahu keadaannya.

Setengah jam lalu Cakra meneleponnya, mengatakan kalau Citra memutuskan pergi meninggalkan keluarga Mahadana. Seharusnya Candra lega, tapi nyatanya hatinya mendadak cemas. Meski tidak mengatakannya, Candra tahu Citra ingin bertahan bersama keluarga itu bukan hanya untuk Cakra. Citra punya alasan lain yang melibatkan hatinya. Memutuskan untuk pergi adalah keputusan yang berat dan Candra yakin kalau Citra sedang tidak baik-baik saja saat ini.

Bagaimana Candra bisa tahu? Kejadian di depan IGD rumah sakit beberapa waktu lalu sudah menjelaskan semuanya. Bagaimana Citra membela Yudhistira, bagaimana dia menatap pria itu, hanya dari perlakuan Citra saja Candra sudah bisa menebak semuanya. Citra sudah main hati entah sadar atau tidak.

Candra baru sampai di depan pintu kamar Citra saat Santi keluar dari dalam ruang pribadi sang sepupu. Candra segera menghampiri wanita baya itu.

"Nena, Citra gimana?"

Santi menatap Candra dengan tatapan sendu. Candra sudah tahu jawabannya tanpa wanita di depannya itu berucap. Santi tidak pernah mengeluarkan pendar mata sesedih itu, bahkan saat cucu-cucunya sedang sakit. Tapi kali ini? Pasti keadaan Citra benar-benar membuat Santi khawatir.

"Candra masuk, ya?" ijin Candra.

Santi mengangguk, "Ajak dia bicara. Dia butuh seseorang di sampingnya saat ini."

Candra mengangguk mengerti, "Candra coba hibur dia."

Setelah Santi berlalu, Candra segera masuk ke kamar Citra. Dia mendapati sang sepupu tengah duduk termenung di atas ranjangnya dengan tatapan kosong. Wajahnya sembab. Ada jejak-jejak air mata yang mulai mengering di pipinya. Baru kali ini Candra mendapati Citra sebegitu kacaunya, membuat hati Candra sakit sekali.

Pemuda Sanjaya itu beranjak menaiki ranjang lalu duduk di samping Citra. Ditariknya kepala gadis itu lalu di sandarkan pada bahunya. Citra hanya diam dan menurut. Walau tak berbicara, Candra tahu saat ini sepupunya itu sedang butuh bahu untuk bersandar.

"Lo janji mau cerita sama gue, tapi gue malah tau semuanya dari orang lain. Apa itu bisa disebut lo ingkar janji?" Candra memancing pembicaraan.

Tidak ada jawaban dari Citra. Hanya helaan nafas berat gadis itu yang menunjukkan kalau dia masih mau merespon perkataan Candra.

"Gue kan udah pernah bilang, lo nggak harus lakuin hal yang nggak perlu lo lakuin. Akhirnya jadi sakit sendiri, kan? Kalo udah begini, susah nyembuhinnya, kan?" omel Candra.

"Lo emang sepupu gue yang paling keras kepala. Kalo cuma dibilangin nggak akan pernah percaya, sampe lo ngalamin sendiri. Emang bener-bener, lo selalu bikin gue sakit kepala. Untung gue sayang!" tambahnya.

Hening. Citra masih saja diam, sedangkan Candra sedang mencari-cari topik obrolan yang bisa membuat sepupunya itu bersuara.

"Lusa gue balik ke Singapura!"

Sepertinya kalimat itu berhasil memancing minat Citra untuk bicara. Gadis itu mengangkat kepalanya dari bahu Candra lalu menatap sepupu laki-lakinya itu dengan tatapan sendu.

"Lo marah sama gue sampe mau ninggalin gue?"

Candra berdecak, "Bukan gitu. Lo kan tau, gue pulang ke Indonesia bukan buat menetap. Bisnis gue di sana nggak ada yang ngurusin. Gue nggak mau kehilangan salah satu sumber pemasukan gue!"

"Tapi, Can, gue nggak mau lo tinggal sendiri di sini. Gue butuh lo!" Citra menatap Candra penuh permohonan.

"Kalo gitu, lo ikut gue aja! Jadi gue nggak harus ninggalin lo di sini sendiri," usul Candra tanpa pikir panjang.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang