Bab 40

536 47 11
                                    

Tiga orang itu hanya saling berdiam diri saat menunggu di depan ruang IGD rumah sakit. Duduk dan terhanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Mereka masih mencerna, bergelut, dan mencoba menerima apa yang baru saja terjadi. Tapi nyatanya tak semudah itu. Semua terjadi begitu tiba-tiba. Membuat sebagian otak waras ketiganya bekerja sedikit keras untuk memahami situasi.

"Yudhis, bisa antar Mami menemui dokter Ardi?"

Dua orang lainnya, Yudhis dan Citra, serentak menoleh ke arah Indy yang duduk di kursi paling ujung sebelah kanan.

"Kenapa mau ketemu dokter, Mi? Mami sakit?" tanya Citra, dia tampak cemas.

"Itu psikolog Mami. Sepertinya Mami butuh konsultasi sama dokternya," jelas Yudhis.

Citra mengamati Indy lebih dalam. Mertuanya itu tampak tenang. Tapi kalau ditilik lagi, matanya memancarkan kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan ketakutan dalam satu waktu. Bibirnya pun terlihat sedikit pucat. Sepertinya ibu dari Yudhistira itu sedang memikirkan banyak hal sekarang.

"Kamu tunggu sini! Saya cuma anter Mami sebentar, terus balik ke sini lagi," pinta Yudhis yang langsung dibalas dengan anggukan oleh sang istri.

Dengan telaten, Yudhis membantu maminya berdiri lalu menuntunnya berjalan. Meninggalkam Citra yang kini seorang diri menunggu kabar dari dokter yang sedang menangangi kakak iparnya di dalam ruang IGD.

Tak berapa lama, terdengar langkah beberapa orang mendekatinya. Citra segera menoleh dan mendapati kedua orang tuanya datang. Setelah menelepon Cakra tadi, Citra juga mengabari Arnesh dan Gendhis tentang keadaan menantu mereka. Citra segera berdiri untuk menyongsong Papa dan Mamanya.

"Pa, Ma!"

"Gimana keadaan Kirana?" tanya Arnesh to the point pada putrinya.

"Masih diperiksa di IGD, dokternya belum keluar," jawab Citra.

"Astaga, gimana bisa sampe begini, sih, Cit?" Gendhis tampak sangat cemas.

"Tadi, kak Kirana...."

"Citra!"

Panggilan seseorang membuat tiga orang yang masih berdiri di depan IGD menoleh. Cakra berlari menghampiri Citra. Penampilannya sungguh kacau. Di belakangnya, ada Candra yang berjalan cepat dengan mata yang terus tertuju pada Citra.

"Dimana Kirana? Gimana keadaannya? Bayinya gimana?" tanya Cakra tidak sabaran.

"Masih diperiksa, Kak. Kak Cakra sabar dulu, tunggu sebentar lagi. Lebih baik kakak duduk, jangan panik begini!"pinta Citra.

"Citra.." Cakra menatap wajah sang adik. Matanya tiba-tiba memanas dan air matanya pun jatuh tak bisa ditahan lagi. Segera dibawanya Citra ke dalam dekapannya. "Maaf, Citra. Maafin kakak. Aku memang kakak yang buruk buat kamu!"

Citra membalas pelukan Cakra, sedikit kaget karena tiba-tiba kakaknya itu menangis. Cakra hampir tidak pernah menangis sebelumnya. Laki-laki itu terakhir kali menangis seperti ini saat Citra terluka akibat terjatuh dari sepeda bersama Cakra. Itu sudah lama sekali, ketika Citra masih berusia 8 tahun.

Dan sekarang, ini terjadi lagi. Padahal Citra tidak sedang terluka. Ada apa dengan kakaknya ini?

"Kak Cakra ini ngomong apa? Kak Cakra selalu jadi kakak terbaik buat Citra!"

Cakra menggeleng ribut, mengurai pelukannya, lalu menangkup wajah cantik adiknya.

"Kakak salah. Gara-gara kakak, kamu harus ngorbanin kebahagiaanmu. Gara-gara kakak, kamu harus nikah sama Yudhistira. Gara-gara kakak, kamu harus jadi objek balas dendam pria itu."

Mata Citra membulat, "K-kakak..."

"Aku udah tau semuanya. Dia, Yudhistira Mahadana, nikah sama kamu karena ingin bales dendam atas kematian ayahnya. Dia nggak bener-bener cinta sama kamu!"

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang