Bab 42

557 50 13
                                    

"Mi, sebaiknya kita kasih Citra waktu lebih lama. Mungkin aj...."

"Mami nggak mau denger alesan kamu lagi, Yudhis! Kalo kamu nggak mau ikut jemput Citra ke dalem, biar mami sendiri yang turun!"

Ya, dua ibu dan anak itu sudah berada di depan gerbang kediaman Perwira. Sudah hampir lima menit berlalu, tapi Yudhis tidak juga turun dari mobil, dan malah membujuk sang mami untuk membatalkan niatnya. Tentu Indy kesal, berpikir kalau anaknya itu pengecut sekali. Hanya menjemput istrinya saja tidak mau.

Karena Yudhis tidak juga beralih dari balik kemudi, Indy memutuskan turun lebih dulu. Tidak sabar kalau harus menunggu putranya itu membukakan pintu. Dia sudah sangat ingin bertemu dengan menantu kesayangannya. Melihat maminya keluar mobil, Yudhis menghela nafas lelah tapi tetap mengikuti perempuan itu turun dari kendaraannya.

Belum sempat Indy menekan bel, sebuah mobil berhenti tak jauh dari mobil Yudhis. Seseorang yang teramat mereka kenal turun dari kendaraan itu. Dia menatap tajam dua orang yang kini menatapnya dengan ekspresi yang berbeda. Indy dengan senyumannya, dan Yudhis dengan wajah keruhnya.

"Selamat sore, Pak Arnesh!" sapa Indy ramah.

"Sore, Bu Indy. Ada kepentingan apa anda berkunjung kemari?" tanya Arnesh, mencoba bersikap tenang.

"Kami mau menjemput Citra. Dia ada di dalam, kan?"

Kening Arnesh berkerut, "Menjemput? Ini, kan, rumahnya. Kenapa harus dijemput?"

"Pak Arnesh ini ternyata suka bercanda juga, ya!" Indy terkekeh. "Pasti sifat lucunya Gendhis itu menurun dari pak Arnesh!"

Arnesh tertawa dalam hati. Tidak tahu saja besannya itu, sikapnya dulu bahkan tidak jauh berbeda dengan Yudhistira. Tapi sekali lagi, dia harus bersikap setenang mungkin. Tidak ingin laki-laki yang berdiri di samping Indy kehilangan segan terhadapnya.

"Saya serius, untuk apa kalian menjemput Citra? Dia sudah berada di rumahnya sekarang," ulang Arnesh.

"Ah, mungkin bapak lupa, dia sudah jadi istrinya Yudhis, tentu aja rumahnya untuk pulang sekarang adalah kediaman kami, Pak!" Indy mengingatkan.

Arnesh menyeringai sembari melirik Yudhis, yang sepertinya tengah salah tingkah akibat ditatapnyanseperti itu.

"Istrinya Yudhis, ya?" tanya Arnesh sarat sarkasme.

"Maaf, Pap--emmmm, Pak, ijinkan mami saya bertemu Citra sebentar," Yudhis mencoba memberanikan diri untuk berbicara. "Mami kangen sama Citra, jadi...."

"Hampir masuk waktu makan malam, sebaiknya kita bicarakan ini di dalam!" pinta Arnesh, memotong kalimat Yudhis.

Yudhis melebarkan matanya, terpaku menatap ayah dari Citra Maharani itu, "Y-ya?"

"Mari makan malam bersama!"

****

Suasa canggung begini sangat-sangat tidak Citra sukai. Tapi, dia bisa apa selain diam. Di hadapannya ada Yudhis dan Indy, suami dan mertuanya, yang tengah makan dengan tenang. Di ujung meja, papanya tampak sibuk dengan alat makannya. Sedang di sampingnya, sang mama juga terlihat sedang menikmati sajian di depannya. Citra pun sesekali menyuap makanannya ke dalam mulut, mengunyahnya perlahan, dan menelannya dengan susah payah.

Citra tidak menyangka, Yudhis dan Indy datang ke kediaman orang tuanya. Untuk menjemputnya, kata Indy. Jujur Citra senang, itu tandanya Indy tidak membencinya setelah tahu siapa dia. Terlebih Yudhis ikut serta, boleh Citra berharap kalau laki-laki itu juga mengharapkannya pulang, kan?

Tapi ada rasa takut juga dalam hatinya. Takut Arnesh berbuat sesuatu yang akan menyakiti dua orang Mahadana itu. Ancaman papanya itu tidak pernah main-main, apalagi kalau sudah berhubungan dengan keluarganya. Citra hanya tidak mau terjadi sesuatu yang buruk lebih dari ini.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang