Kirana pikir, hidupnya jauh dari kata beruntung. Dia tidak seberuntung Livia yang masih memiliki orang tua, berasal dari keluarga terpandang, dan kemauannya bisa dituruti kapanpun Livia minta. Kirana iri, sangat-sangat iri. Tapi kebaikan hati Livia padanya, yang mau berteman dengan anak yatim piatu sepertinya, yang selalu mendukungnya dalam kondisi apapun, yang bisa menjadi sandaran saat dia membutuhkan penompang, membuat Kirana agaknya sedikit bisa menutupi rasa irinya.
Livia selalu menawarkan berbagai bantuan untuk Kirana. Awalnya Kirana selalu menolak dengan alasan tidak mau merepotkan. Tapi Livia selalu punya banyak cara untuk memaksa, dan Kirana pun luluh juga. Dia mulai menerima uluran tangan sang sahabat. Livia terus memberi, Kirana pun terus menerima. Tanpa sadar, Kirana mulai bergantung pada bantuan Livia.
Hari itu, Kirana akan mengikuti seleksi pemilihan gadis sampul di sebuah agensi majalah. Seperti biasa, Livia pun menawarkan bantuannya. Livia ingin mengantar dan menjemput Kirana. Sekalian menyemangati sang sahabat, katanya. Tapi Kirana menolak, dia lebih memilih meminjam mobil Livia saja sebagai alat transportasinya.
Kirana sendiri tidak memiliki mobil. Buang-buang biaya perawatan, pikirnya. Selama ini, saat akan bepergian kemana-mana, Kirana hanya menggunakan taksi atau menebeng pada Livia. Sesekali kalau dia sedang butuh berkendara sendiri, Livia akan meminjamkan salah satu mobil dari travel milik kakeknya. Berteman dengan cucu pemilik travel ternama adalah satu-satunya keberuntungan yang bisa Kirana dapatkan.
Tapi Kirana rasa keberuntungan sedang tidak bekerja dengan baik hari itu. Dia tidak lolos seleksi menjadi gadis sampul. Bukan hanya itu yang membuatnya bersedih. Kenyataan bahwa Livialah yang dicari oleh agensi majalah itu, membuat rasa iri Kirana pada Livia kembali muncul ke permukaan. Kata-kata 'beruntung jadi teman cucu pemilik travel ternama' terhapus begitu saja.
Kirana benar-benar kesal dan butuh pelampiasan. Club malam menjadi tujuan gadis itu untuk menghabiskan waktu di hari buruknya. Meminum minuman keras adalah kebiasaan Kirana saat dia dilanda stress. Untuk menenangkan diri, katanya. Beruntung toleransinya terhadap alkohol lumayan tinggi, jadi dia tetap bisa pulang dengan mengendarai mobil sendiri.
Namun Tuhan sepertinya tidak membiarkan hari buruk Kirana berakhir. Suasana hening dalam perjalanan pulang ke apartemennya, membuat mata Kirana memberat dan hampir tertutup, kalau saja suara decitan ban serta benturan keras tidak menyadarkannya. Sahabat Livia Perwira itu segera menghentikan kendaraannya lalu menoleh ke belakang, dimana suara keras itu berasal. Mata Kirana langsung terbelalak saat mendapati sebuah sedan hitam terbalik tak jauh dari tempatnya berhenti.
"K-kenapa mobil itu? A-apa karena gue?" gumam Kirana.
Dengan badan gemetar, Kirana turun dari mobil. Untuk sesaat Kirana terpaku menatap mobil sedan hitam yang kondisinya jauh dari kata baik-baik saja, lalu dengan berjalan sempoyongan menghampiri mobil mewah yang terbalik itu.
Kirana berjongkok di samping pintu pengemudi mobil yang terbalik itu untuk melihat keadaan pengendaranya. Dia semakin terbelalak saat melihat soksok pria tengah baya sudah bersimbah darah dengan seat-belt mobil masih melilit badannya. Dengan tangan gemetaran, Kirana mendekatkan jari telunjuknya ke arah lubang hidung pengemudi sedan itu.
Kirana menarik lagi tangannya dengan cepat, "Ng-nggak ada nafasnya!"
"A-apa... Apa dia mati?" paniknya. "D-dia mati?"
Kirana berdiri lalu berjalan mundur menjauhi mobil sedan mewah hitam yang keadaannya sudah setengah ringsek.
"Ng-nggak! G-gue bukan pembunuh! B-bukan gue!"
Kirana mengerlingkan pandangannya. Suasana memang begitu sepi saat itu. Membuatnya yakin tidak ada saksi mata yang melihat kejadian itu.
"G-gue harus pergi! G-gue...."
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
RomanceCitra tak pernah menyangka masa lajangnya akan berakhir lebih cepat dari perkiraanya. Pernikahannya dengan CEO tampan dan kaya raya seketika merubah hidupnya. Disaat semua orang membayangkan kehidupan mewah yang akan Citra dapatkan, tapi justru Citr...