Bab 44

606 50 9
                                    

Cakra mencintai Kirana, semua orang terdekatnya mengetahui itu dengan pasti. Wanita itu adalah orang pertama dan satu-satunya yang bisa membuat seorang Cakra Bagaskara membagi fokusnya dari sang adik, Citra Maharani. Kirana Hanumita adalah satu-satunya wanita yang bisa mematahkan prinsip hidup Cakra, yang berniat melajang seumur hidup demi Citra.

Tapi Cakra tidak pernah menyangka, karma juga akan bekerja pada orang-orang yang ingkar janji.

Dulu sekali Cakra pernah menetapkan dalam hati, tidak akan menikah dengan wanita manapun. Dia ingin menghabiskan seluruh hidupnya untuk menjaga dan melindungi Citra. Tapi setelah bertemu Kirana, keteguhan hatinya goyah. Dia melanggar janjinya pada diri sendiri. Pada akhirnya Cakra menikahi Kirana.

Ternyata, Tuhan memang tidak menyukai seseorang yang ingkar. Dan sialnya, Cakra adalah salah satu orangnya.

Setelah menikah, dia mendapati sang istri tidak begitu menyukai Citra dengan alasan iri karena Cakra selalu memprioritaskan adik kesayangannya itu. Bahkan Kirana kerap kali bersikap tidak menyenangkan terhadap Citra. Cakra tentu saja menegur Kirana, tapi selalu saja berakhir dengan pertengkaran.

Yang paling tidak Cakra sangka, Citra tiba-tiba memutuskan untuk menikah hanya demi keutuhan rumah tangganya dengan Kirana. Lebih mengejutkan, orang yang menikahi Citra adalah orang yang telah dicuranginya dulu, yang ternyata masih menyimpan dendam pada keluarganya.

Cakra tidak tahu kalau berhadapan dengan karma rasanya akan sangat buruk seperti ini. Karma bekerja perlahan namun pasti, hingga membuat sang target diam tak berkuti. Dan Cakra sedang berada di posisi itu. Dia dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit. Kirana dan calon anaknya, atau Citra, adik kesayangannya.

Perbuatan curangnya memang tidak bisa dibenarkan, tapi niatnya untuk membahagiakan dua orang wanita yang teramat dikasihinya itu sangat tulus. Cakra pikir, Tuhan sepertinya hanya mengganjar perbuatan buruknya tanpa memperhitungkan ketulusan hatinya. Bukankah itu tidak adil?

"Tenangin diri kamu dulu, Citra. Nena akan segera pulang. Jangan kemana-mana dalam keadaan seperti itu. Tunggu Nena di rumah, ya!"

Suara Santi membuyarkan lamunan Cakra yang duduk di kursi tunggu depan ruang rawat Kirana. Atensinya kini terfokus pada sang Nena yang baru saja mengakhiri sesi teleponnya dengan Citra.

"Nena pulang dulu, Citra sepertinya butuh temen buat cerita. Kamu nggak papa, kan,  Nena tinggal sendiri?" tanya Santi.

Cakra menatap lekat netra wanita baya itu beberapa saat, sebelum membuka suara.

"Apa Citra baik-baik aja?" Cakra balik bertanya.

Santi menghela nafas panjang, kemudian menggeleng pelan, "Citra lagi nggak baik-baik aja."

Ya, Cakra sudah tahu jawabannya akan seperti itu, tapi tetap saja pertanyaan retorik itu keluar dari mulutnya. Dirinya seolah berharap Santi akan memberikan jawaban yang lain. Kenyataannya, memang keadaan Citra sedang tidak baik-baik saja sekarang. Hal itu membuat hatinya begitu sakit.

Cakra berada di dekat Santi saat Citra menelepon. Sayup-sayup dia bisa mendengar suara Citra yang sesenggukan di seberang sana. Adik kesayangannya itu sedang menangis kepayahan. Dan lagi-lagi itu karena dirinya. Citra memutuskan meninggalkan sang suami untuk dirinya.

Cakra berpikir, dia adalah seorang kakak yang kuat, yang pasti bisa melindungi Citra  bagaimanapun keadaannya. Cakra yakin, dia bisa membahagiakan Citra dengan tangannya sendiri. Tapi nyatanya, semuanya berbanding terbalik. Citralah yang selama ini melindunginya diam-diam. Melakukan apa yang sehsrusnya tidak perlu Citra lakukan, hanya demi membahagiakannya. Haruskah Cakra merasa malu?

Cakra pikir, dia yang paling tahu segalaya jika itu tentang Citra. Nyatanya, dia tidak pernah tahu apa-apa. Dia tidak pernah paham apa yang Citra pikirkan dan rasakan. Yang Cakra tahu, Citra itu selalu tersenyum. Tanpa dia ketahui, Citra juga menyimpan banyak rasa yang tak terungkap.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang