Yudhis menghampiri Indy yang tengah duduk termenung di ruang makan. Wajahnya tampak lesu tak bersemangat. Bahkan roti isi favorit wanita paruh baya itu masih utuh tak tersentuh di piring. Sepertinya sedang ada yang mengganggu pikiran Indy.
Yudhis berangsur duduk di samping Indy, mengusap pundak Maminya pelan untuk mendapat atensi wanita itu. Indy sedikit tersentak oleh sentuhan sang putra lalu menoleh menatap Yudhis sembari tersenyum.
"Mami lagi mikirin apa? Kenapa sampe ngelamun begitu?" tanya Yudhis.
Indy menghela nafas panjang, senyumnya seketika pudar, "Mami kepikirian Citra."
Kening Yudhis berkerut samar, "Ada apa dengan dia?"
"Citra akhir-akhir ini jadi pendiem dan kaya menghindar dari Mami," adu Indy. "Dia nggak cerita sesuatu sama kamu? Mungkin aja dia lagi ada masalah!"
Yudhis menggeleng, "Dia nggak cerita apa-apa, Mi. Yudhis juga ngerasa dia bersikap biasa aja, tuh!"
"Kamu ini suaminya, harusnya kamu lebih peka sama istri kamu. Mami yakin, dia pasti lagi banyak pikiran," nasihat Indy.
"Akhir-akhir ini dia sering berangkat pagi-pagi, pulangnya juga malem banget, kamu harusnya lebih perhatian sama dia. Ingetin dia buat makan. Kalo perlu, jemput dia ke kantornya!" tambah Indy.
"Citra udah bawa mobil sendiri, Mi. Nggak perlu Yudhis jemput. Dia juga nggak akan mau naik mobik Yudhis!"
"Gimana bisa kamu seyakin itu dia nggak mau naik mobil kamu? Asal kamu tau, seorang istri itu seneng kalo dapet perhatian dari suaminya. Mami pun dulu begitu. Papi kamu itu orangnya sangaaat perhatian, jadi secapek apapun Mami tetep bisa senyum bahagia karena Papi selalu tau apa yang lagi Mami butuhin!" jelas Indy panjang lebar.
Yudhis tak banyak menanggapi. Hanya mengangguk-anggukkan kepala sembari mencomot roti isi dari piring Indy lalu memakannya.
"Mami beneran khawatir sama Citra loh, Dhis!" Indy memasang wajah sedih. "Mami takut dia kenapa-kenapa. Dia beda banget belakangan ini, kaya bukan Citra yang biasanya!"
Kunyahan di mulut Yudhis melambat, netranya menatap Indy yang kini menghela nafas gusar. Indy benar-benar tampak sedih, bukan hanya terlihat dari wajahnya saja, ada pendar sendu yang juga terpancar di mata wanita paruh baya itu dan Yudhis tidak menyukainya.
"Terus, Mami pengen Yudhis gimana?" tanya Yudhis.
Indy berdecak sebal, "Kamu itu suami macem apa, sih? Begitu aja harus tanya Mami. Temui Citra, dong! Tanya, dia ada masalah apa? Apa dia perlu bantuan? Pokoknya bikin dia biar bisa terbuka sama kamu. Kalian ini suami istri, keterbukaan itu penting dalam hubungan kalian!"
Yudhis menyelesaikan sarapannya, membersihkan sisa-sisa roti di mulut dengan tisu, lalu berdiri sembari merapikan jasnya.
"Nanti Yudhis telepon..."
"Temui dia! Jangan cuma di telepon!" paksa Indy.
"Iya, iya, Mami!" Yudhis merotasikan bola matanya. "Nanti Yudhis ke kantor Citra dan ajak dia bicara. Mami jangan khawatir-khawatir lagi, ya!"
"Mami tunggu kabar baiknya!"
Setelah bersalaman dengan sang Mami, Yudhis segera beranjak keluar rumah dan memacu mobilnya menuju kantor Mahadana Corporate.
****
Yudhis tidak suka diabaikan. Baik itu saat bertatap muka, atau bahkan hanya dalam sambungan telepon. Baginya, itu cerminan sikap orang yang tidak bisa menghargai orang lain dan dia tidak suka bekerja sama dengan orang yang seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
RomanceCitra tak pernah menyangka masa lajangnya akan berakhir lebih cepat dari perkiraanya. Pernikahannya dengan CEO tampan dan kaya raya seketika merubah hidupnya. Disaat semua orang membayangkan kehidupan mewah yang akan Citra dapatkan, tapi justru Citr...