Bab 41

518 47 3
                                    

Yudhistira Mahadana tidak pernah mengerti bagaimana cara kerja hatinya.

Dia pikir, selama ini dia membenci Citra karena mengira gadis itu adalah penyebab dirinya kehilangan sang papi. Mengira, dengan menikah dengan Citra, akan mempermudah dirinya untuk membalas dendam atas kematian Dewa Mahadana. Tapi nyatanya dia tidak benar-benar bisa membenci orang yang telah menjadi istrinya itu.

Jangan lupakan, Yudhis awalnya tidak tahu kalau Citra adalah putri dari keluarga Perwira. Dia mengenal sosok Citra lebih jauh dari sekedar partner kerjanya, atas permintaan Indy, maminya. Berkunjung ke rumahnya juga atas keinginan Indy. Dan berencana menikahi gadis itu juga demi Indy.

Semua memang karena Indy. Tapi Yudhis tidak menyangkal kalau dia juga menyukai kepribadian Citra. Dia gadis yang hangat dan selalu ceria. Sifatnya itu membuat siapa saja yang berada di sekitarnya akan dengan cepat merasa dekat, Indy salah satu korbannya. Dan itu yang membuat Yudhistira tertarik.

Bahkan setelah mengetahui fakta bahwa Citra adalah bagian dari keluarga Perwira, bahkan sempat mengira Citra adalah pelaku pengendara mobil penyebab mobil papinya oleng, Yudhis tidak juga memperlakukan Citra dengan buruk, seperti yang sudah dipikirkannya. Tetap mengakuinya sebagai istri, menolongnya saat gadis itu dalam bahaya, menenangkannya saat Citra ketakutan, dan ada rasa cemburu saat Citra pergi bersama laki-laki lain.

Dan kini perasaan itu semakin jelas.

Saat Citra dibawa pergi, hidup Yudhis tiba-tiba terasa begitu kosong. Hatinya diliputi rasa sakit yang tidak dapat digambarkan. Pimpinan Mahadana corporate itu mulai sadar, dia telah jatuh pada seorang Citra Maharani. Dia menginginkan gadis itu, bukan karena Indy, tapi karena dirimya sendiri.

Sore itu, Yudhis duduk sendiri di pinggiran tempat tidur. Mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamarnya, yang beberapa  waktu terakhir ditempati Citra setelah gadis itu menjadi istrinya. Barang-barang Citra masih ada dan utuh di tempatnya. Gadis itu dibawa pergi tanpa membawa apapun, kecuali dompet dan ponselnya yang sempat dibawa saat mengantar Kirana ke rumah sakit.

Baru dua hari, dan wangi Citra masih ada di sana. Menempel pada bantal, guling, kasur, kursi, sofa, semuanya. Wangi Citra masih menempel di mana-mana. Membuat dada Yudhis merasakan getaran yang sangat menyesakkan.

Ini bukan kali pertama Yudhis merasakannya. Kalau biasanya saat perasaan itu datang, Yudhis akan mengunjungi makam papinya, kali ini dia bingung harus melakukan apa. Karena objek yang menyebabkan getaran itu terjadi kali ini bukan papinya, tapi Citra. Ya, Yudhis merindukan Citra.

"Yudhis!"

Yudhis menoleh, mendapati Indy melangkah memasuki kamarnya. Wanita tengah baya itu kemudian berangsur duduk di samping sang putra.

"Kapan kita jemput Citra? Ini udah kelamaan dia di sana. Ini rumahnya, dia harusnya pulang ke sini!"

"Ini baru dua hari, Mi," Yudhis mengingatkan.

"Dua hari itu lama, Yudhis. Dia itu seorang istri. Nggak baik tinggal berjauhan sama suaminya lama-lama!"

Sepulang dari rumah sakit lusa lalu, Indy memang terus mendesak Yudhis untuk segera membawa Citra pulang, tapi Yudhis terus mengatakan kalau Citra butuh waktu bersama keluarganya. Yudhis memang belum menceritakan tentang Arnesh yang membawa paksa istrinya itu. Dia hanya mengatakan, Citra harus menyelesaikan beberapa hal bersama orang tua dan kakaknya.

"Kalo kamu nggak mau jemput Citra sekarang, biar Mami aja sendiri yang jemput!" ancam Indy.

"Mami jangan begitu, Citra belum bisa pulang. Mama ngertiin, dong!" pinta Yudhis.

"Kamu itu yang nggak ngerti. Citra itu nunggu kamu jemput. Kamu itu suaminya, harusnya kamu peka!"

"Mi, dengerin Yudhis dul.."

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang