Tak terasa ini sudah tahun ketigaku berada di Hogwarts. Selama liburan kemarin, aku selalu bertukar surat dengan ketiga sahabatku. Isi surat Hermione menceritakan tentang liburannya di Paris, sedangkan surat dari Ron kali ini tidak lagi berisi keluhan, seperti betapa bosannya dia terus berada di rumah lalu berakhir menjadi korban kejahilan si kembar. Surat dari Ron menceritakan pengalaman liburannya selama di Mesir bersama keluarganya, mereka pergi kesana karena Arthur berhasil memenangkan hadiah utama undian tahunan galleon Daily Prophet, dan ia menggunakan uang emas itu untuk pergi menikmati liburan musim panas di negara lain.
Lalu terakhir Harry, ia jarang membalas suratku karena pamannya melarang Harry untuk melepaskan Hedwig dari sangkar. Dan surat terakhir yang kuterima darinya, sama seperti biasanya, ia mengeluh ingin segera kembali ke Hogwarts karena tidak nyaman tinggal bersama paman dan bibinya yang selalu memperlakukannya dengan kejam dan ia membenci liburan musim panas karena pasti berakhir dengan buruk.
Surat terakhir yang kuterima saat liburan kemarin bertuliskan bahwa Hermione dan Ron memintaku untuk datang ke Leaky Cauldron pada minggu terakhir liburan, karena mereka bertiga memutuskan untuk berkumpul di sana lalu kami bisa pergi ke Diagon Alley, mencari buku-buku yang kami perlukan di tahun ketiga. Pasti itu akan menjadi rencana yang menyenangkan andai saja keluargaku tidak melarang. Berita tentang tahanan azkaban yang melarikan diri, membuat mereka mengkhawatirkan keadaan di luar sana, bahkan aku sempat dilarang untuk kembali ke Hogwarts, mengingat apa yang terjadi padaku di tahun kedua. Tentu saja aku menolak dan meyakinkan mereka dengan berkata bahwa kepala sekolah pasti akan memastikan semua muridnya aman.
Lagipula keluargaku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Sirius Black. Walaupun kakek nenek pernah akrab dengan kepala keluarga Black dulu. Tetapi aku lebih mengkhawatirkan keadaan Harry disini karena dia yang diincar oleh penjahat itu.
Berhubung aku bosan terus duduk di kompartemen selama berjam-jam, dan juga sedikit merasa lapar, aku memutuskan untuk berjalan keluar, mencari penjual troli. "Apa kalian mau ikut? Aku ingin membeli coklat atau permen." Tanyaku ke arah Luna, Neville dan Ginny.
"Tidak, aku sedang tidak ingin melakukan apapun." Jawab Ginny lesu, ia gadis berambut merah yang 'ku ikuti waktu itu, adik dari Ron dan si kembar Weasley. Ini tahun keduanya di Hogwarts. Dan aku selalu bertanya-tanya bagaimana rasanya memiliki banyak saudara? Pasti ramai sekali keadaan di rumah mereka.
Tanpa sadar, aku telah berjalan terlalu jauh hingga kini berada di dalam gerbong murid Slytherin. Sebenarnya tidak ada gerbong khusus masing-masing asrama, tapi hanya karena sang pangeran Slytherin itu duduk di gerbong ini bersama pengawalnya. Dan akhirnya, banyak murid Slytherin lain yang ikut duduk di dalam sini juga. Jujur saja, aku tidak terlalu nyaman dengan asrama ini, semua penghuninya memiliki tatapan yang tajam dan sinis.
"Calla!" Seseorang memanggil namaku dan aku pun menoleh.
"Hai Pansy, ada apa?" Balasku. Pansy Parkinson, dia yang pertama kali mengajakku berkenalan. Tapi kami secara naluriah tidak terlalu dekat. Bisa kulihat, sosok Blaise Zabini yang duduk disebelahnya dan tak lupa pangeran Slytherin, Draco Malfoy, ia melirikku tajam, membuatku merasa tidak nyaman.
"Kau mau kemana?" tanya Pansy.
"Mencari penjual troli, aku lupa memasukkan semua cokelat dan permenku ke dalam tas. Dan aku juga sedikit lapar." Jawabku, Pansy mengangguk paham.
Aku menatap cemas ke arah luar, dimana hujan turun semakin lebat sementara kereta terus meluncur. Jendela sekarang berwarna abu-abu berkilau dan perlahan berubah gelap sampai lampu-lampu menyala di sepanjang koridor dan di atas rak barang. Udara di dalam kereta terasa begitu dingin dan kini kaca-kaca jendela sedikit demi sedikit terlihat mulai membeku padahal ini bukan musim salju.
"Sebaiknya aku kembali ke kompartemen." ucapku, menatap cemas ke sekeliling.
"Menurutku lebih baik kau tinggal disini dulu." Kata Pansy.
Aku menggeleng pelan. "Teman-temanku pasti sedang menungguku." Berikutnya, aku langsung membalikkan tubuh tetapi bisa kurasakan kereta api semakin lama semakin lambat. Setelah bunyi piston mereda, angin dan hujan terdengar semakin keras menimpa jendela. Kemudian kereta api berhenti diiringi entakan kuat dan bunyi decitan kencang yang memekakan telinga, membuatku kehilangan keseimbangan, lalu terjatuh di atas pangkuan seseorang, tangannya bergerak cepat melingkari punggungku agar tidak terdorong semakin ke belakang. Tanpa peringatan sebelumnya, semua lampu padam dan menenggelamkan kami dalam kegelapan total.
Sontak, aku menoleh, bertemu dengan sepasang iris kelabu yang sedang menatapku tajam. Pupilnya melebar, mengelamkan mata itu. Aku baru menyadari jika dia memiliki mata yang indah, jenis yang bisa membuatmu tersesat, dan kurasa... aku tersesat. Ujung hidung kami saling bersentuhan karena jarak kami yang hampir tak bercelah, hembusan napas hangatnya menggelitik permukaan kulit wajahku, dan jantungku berdegup semakin cepat.
"Maaf, aku tak sengaja Malfoy." Ucapku, setengah gugup setengah panik, lalu berusaha untuk berdiri namun lelaki itu menahan pinggangku.
"Diam disini!" Ucapnya tegas. "Keadaan sedang tidak aman, para dementor berkeliaran di dalam sini."
"Apa itu dementor?" Tanyaku.
"Penjaga azkaban, mereka berbahaya dan jangan sekali-kali menatap wajahnya."
Berdiri di ambang pintu penghubung antar gerbong, ada sosok berjubah yang menjulang sampai ke langit-langit kereta. Wajahnya sama sekali tersembunyi di bawah kerudung kepalanya. Mataku bergerak menyusur ke bawah dan yang kulihat membuat perutku menegang. Sebuah tangan terjulur dari dalam jubah dan tangan itu mengilap, abu-abu, seperti sesuatu yang mati dan telah membusuk. Tangan itu mendadak ditarik ke dalam lipatan kain jubahnya. Seakan makhluk itu bisa merasakan tatapanku. Dan kemudian, sosok itu menarik napas pelan, berkeretak, seakan dia mencoba menghisap lebih dari sekadar udara dari sekelilingnya. Hawa dingin terasa semakin menusuk, menembus kulitku membuat napasku tertahan, memasuki dada, memasuki jantung... rasanya seperti aku tak akan pernah bahagia lagi.
"Jangan dilihat!" Seru Draco, tangannya langsung bergerak menutup mataku, lalu ia menyembunyikan wajahku di ceruk lehernya.
Aroma tubuh Draco terasa begitu maskulin, dan ini menenangkanku. Hanya dengan mencium wanginya, seakan-akan aku dipindahkan ke waktu lain, ke tempat lain. Tanpa sadar, aku mengalungkan lenganku di lehernya, dan tubuhnya mulai menegang karena pergerakanku.
"Menggodaku, eh?" Bisik Draco di dekat telingaku. Bisa kurasakan tangannya semakin memelukku erat.
"Apa mereka sudah pergi?" Tanyaku gugup.
"Belum. Sepertinya ada keributan di lorong sebelah." Jawabnya, aku mengangguk paham. "Kenapa kau tidak datang?"
Sepertinya aku paham ke arah mana pertanyaannya ini. Liburan musim panas kemarin, Lucius mengundang semua pure blood untuk mengadakan perkumpulan di Malfoy Manor. Walaupun tidak semua keluarga datang, dan aku juga sempat diajak oleh kakek nenek, namun aku beralasan harus mengerjakan tugas liburanku agar tidak perlu ikut kesana. Karena sejujurnya, aku sedikit merasa tidak nyaman, mengingat anak-anak seumuranku kebanyakan berasal dari Slytherin.
"Aku tidak nyaman karena satu-satunya Ravenclaw disana." Jawabku.
"Setidaknya kau bukan Gryffindor."
Kereta bergerak lagi dan kelihatannya keadaan sudah mulai aman. Aku mengangkat wajahku dan bisa kurasakan pipiku mulai memanas saat mendapati Draco tersenyum miring, menatapku dalam-dalam. "Ahh uhhh sebaiknya aku pergi." Ucapku gugup, lalu bergerak melepaskan diri dari pelukannya dan langsung berjalan cepat menuju kompartemen.
"Calla! Kau darimana saja? Kami mengkhawatirkanmu." Seru Ginny saat melihat kedatanganku.
"Ada apa Calla wajahmu memerah. Apa kau baik-baik saja?" tanya Luna. Aku mengangguk lemah dan memilih berdiam diri sambil menatap hujan di luar, berusaha sekuat mungkin untuk tidak terjatuh ke dalam pesona seorang Malfoy, meyakinkan diriku bahwa dia hanyalah lelaki angkuh yang sering mengganggu murid-murid lain, terutama ketiga sahabatku demi kesenangan pribadi.
Ya. Benar. Tidak ada satupun hal-hal baik dalam dirinya.
¥¥¥
KAMU SEDANG MEMBACA
Belongs To Malfoy
Fanfiction15+ Ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Hogwarts, semua yang Calla inginkan hanyalah memiliki teman dan menjadi murid berprestasi. Jatuh cinta adalah hal terakhir yang ia inginkan, bahkan itu tidak pernah sekalipun terlintas dalam piki...