Pagi ini, aku berdiri di depan cermin sambil mengikat dasi biru tua kebanggaan Ravenclaw. Wajahku terlihat kacau sekali, mata sembab ditambah hidung yang memerah dan jangan lupakan kantung hitam di bawah mata itu. Aku tidak menangis lagi, entah karena aku yang lelah menangis terus atau karena aku mulai merelakan kepergian mereka. Walaupun rasanya masih berat dan sakit saat membayangkan liburan nanti aku tidak bisa melihat wajah keduanya menyambut kepulanganku.
Sejujurnya aku benci sekali menangis, benci dimana aku harus mengeluarkan air mata, benci dimana aku tidak bisa tersenyum, dan benci dimana aku mengingat hal yang membuatku menangis. Ini menyiksaku ditambah rasa pening yang tak kunjung hilang, andai saja aku bisa tidur lebih lama lagi, jadi aku tidak perlu menghadapi kenyataan yang ada.
Lorong-lorong panjang Hogwarts terlihat begitu mencekam bagiku, berjalan seorang diri di dalam sini membuatku tidak nyaman meski ada beberapa murid yang melintas juga, tapi tetap saja tak berhasil membuat perasaanku lebih baik. Sepertinya setelah kejadian mengerikan malam itu, perasaan takut mulai menghantuiku bahkan aku sampai memutuskan untuk terus membawa tongkatku. Sebuah tongkat yang terbuat dari kayu alder dengan inti rambut unicorn. Grandpa benar, aku tidak boleh menunjukkan bakat alamiku kepada siapapun dan kuharap Draco bisa merahasiakan ini.
Bisa kulihat sosok Draco berdiri di dekat pintu masuk aula, ia bersandar pada dinding di belakangnya sambil bersedekap. Begitu melihatku berjalan mendekat, ia mulai menegakkan tubuhnya. Kami saling menatap satu sama lain, tidak ada yang memutuskan untuk mulai bersuara, hingga kemudian ia menarikku ke dalam pelukannya. Dengan lembutnya, Draco mengusap punggungku berkali-kali.
"Maaf, aku tak bisa datang menemanimu."
Aku menggeleng pelan. "Tak apa. Aku paham." Ucapku sambil memejamkan mata, merasakan kehangatan pelukannya.
"Pasti berat. Bagaimana perasaanmu?" Draco mencium dahiku lama.
"Aku baik-baik saja Draco."
"Kau tau? Kau bukan pembohong yang baik." Mendengar itu, aku tertawa hambar.
"Bisakah kau berhenti memelukku? Yang lain memperhatikan kita."
"Aku tak peduli." Jawabnya cepat.
"Bagaimana dengan peraturan Umbridge?"
"Persetan dengan peraturannya, aku terlahir sebagai Slytherin."
"Tapi... aku lapar."
Setelah itu, Draco langsung melepaskan pelukannya. "Aku tak akan menahanmu lebih lama lagi kalau begitu." Ia menggenggam tanganku dan kami berjalan masuk ke dalam.
Seluruh murid di dalam aula sibuk membaca berita yang muncul di halaman Daily Prophet, dan saat melihat kedatanganku, mereka semua langsung menatapku tak terkecuali Harry, Hermione dan Ron yang sedang berbicara dengan Seamus di depan sana. Membuatku menahan tangan Draco agar berhenti berjalan, sekilas aku melirik ke arah murid gryffindor yang duduk di sebelahku, lebih tepatnya melirik pada bacaannya itu. Berita tentang tahanan azkaban yang berhasil kabur sebagai topik utama hari ini, dan bisa kulihat fotoku di pemakaman yang sedang menangis di pelukan ayahku juga terpajang disana. Membuatku mengalihkan perhatianku kembali kepada mereka bertiga.
"Aku ingin bicara dengan mereka." Ucapku sambil menatap Draco. Lelaki itu mengangguk paham lalu melepas genggamannya dan berjalan mencari tempat yang masih kosong.
Sepertinya Seamus telah selesai bicara karena bisa kulihat dia kembali duduk di bangkunya. Aku melangkah mendekati mereka bertiga dan sedikit tersenyum saat berjalan melewati Luna. Hermione menatapku penuh kecemasan dan sama seperti Draco, ia menarikku ke dalam pelukannya disusul Harry dan Ron yang ikut bergabung memelukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belongs To Malfoy
Фанфик15+ Ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Hogwarts, semua yang Calla inginkan hanyalah memiliki teman dan menjadi murid berprestasi. Jatuh cinta adalah hal terakhir yang ia inginkan, bahkan itu tidak pernah sekalipun terlintas dalam piki...