Aku bermimpi, mimpi yang sama seperti waktu itu dan juga hampir mirip dengan milik Harry. Hanya saja, kali ini lebih terasa nyata bahkan aku bisa merasakan aura kematian yang mengelilingi tempat ini. Aku bertanya-tanya, kenapa aku bisa mengalami ini? Maksudku, aku hanya seorang gadis biasa dan kebetulan bisa melakukan sihir tanpa tongkat, bukan-yang terpilih-seperti Harry ataupun penyihir terhebat seperti Dumbledore.
Perasaanku tidak enak, aku berharap bisa cepat terbangun lalu berpura-pura tidak pernah mendapatkan mimpi buruk. Aku terus berjalan mengelilingi tempat ini, kegelapan begitu pekat disini bahkan tidak ada tanda-tanda keberadaan makhluk hidup. Seolah-olah tanahnya sudah dikutuk.
Dari ekor mataku, aku melihat tubuh seseorang, terbaring tak berdaya di atas tanah. Aku menghampirinya dan terkejut karena itu adalah CEDRIC. Matanya membelalak ke atas, tubuhnya terdiam kaku dan kulitnya terasa begitu dingin saat kusentuh, sorot matanya redup karena kehidupannya telah direnggut paksa.
Ini tidak mungkin bukan? Iya, ini hanya mimpi. Jelas sekali ini tidak akan mungkin terjadi.
Aku langsung terbangun saat Luna mengguncang tubuhku sambil memanggil namaku. "Kau tidak ingin melewatkan turnamen terakhir bukan?" Kata Luna dan aku pun menengok ke arahnya. "Calla, kau menangis?"
Aku mengelap pipiku dengan punggung tangan. "Hanya mimpi buruk."
Luna mengangguk paham dan memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. Aku turun dari tempat tidur lalu mengganti piyamaku dengan pakaian santai. Sebentar lagi pertandingan dimulai dan perasaanku sangat tidak enak, aku berusaha menepiskan pikiran negatif itu dan meyakinkan diri bahwa semuanya akan berjalan normal seperti biasanya. Setelah selesai, kami pergi menuju arena pertandingan yang letaknya lumayan jauh dari gedung sekolah. Jantungku terus saja berdegup kencang dan aku tidak siap menghadapi hari ini, rasanya seperti aku masuk ke dalam mimpi buruk lainnya.
Semua murid sudah berkumpul di tempat arena begitu kami sampai, aku menatap ke arah tenda para pejuang. "Luna, kau duluan saja. Aku ingin menemui seseorang." Ucapku.
Ia mengangguk dan masuk ke dalam sana. Dengan cepat, aku berjalan menghampiri tenda para pejuang karena sebentar lagi acara akan dimulai. Aku memutuskan untuk menemui Cedric terlebih dahulu dan memberitahukannya tentang mimpiku. Beruntung sekali ia keluar dari dalam tenda bertepatan dengan aku yang baru saja tiba.
Cedric menatap terkejut ke arahku. "Calla?" panggilnya. "Apa yang kau lakukan disini?"
"Umm Cedric, bisakah aku berbicara denganmu sebentar?"
Ia tersenyum dan mengangguk lalu menarik tanganku menuju area belakang tenda yang lebih sepi dan tidak dilalui banyak orang. "Ada apa? Apa kau baik-baik saja? Kau terlihat pucat."
"Cedric..." aku menatap ke dalam matanya. "Aku melihatmu... di mimpiku dan kau memakai pakaian seperti ini juga. Tapi kau tidak baik-baik saja, astaga ini sungguh menakutkan." Aku menutup wajahku dengan kedua tangan.
Cedric menarikku ke dalam pelukannya saat melihat tubuhku yang mulai bergetar karena aku menangis. "Tidak bisakah kau mengundurkan diri saja? Aku takut mimpiku menjadi kenyataan."
"Tenanglah, itu hanya perasaanmu. Aku akan baik-baik saja dan kembali dengan membawa piala itu." Katanya, bisa kurasakan tangannya yang mengelus rambutku.
"Apakah piala itu sangat penting untukmu? Itu hanya sebuah piala kosong Cedric dan kau mempertaruhkan nyawamu untuk mendapatkannya, itu tidak setimpal."
Cedric terdiam. "Tapi aku tidak bisa mengundurkan diri begitu saja, aku tidak ingin membuat banyak orang kecewa."
"Aku paham..." aku melepaskan diri dari pelukannya lalu menatap wajahnya. "Berjanjilah agar kau kembali dalam keadaan selamat dan jangan terlalu memaksakan dirimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Belongs To Malfoy
أدب الهواة15+ Ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Hogwarts, semua yang Calla inginkan hanyalah memiliki teman dan menjadi murid berprestasi. Jatuh cinta adalah hal terakhir yang ia inginkan, bahkan itu tidak pernah sekalipun terlintas dalam piki...