Matahari hampir terbit di peraduan saat aku tersadar dari tidurku. Aku berbalik untuk melihat Draco yang masih terlelap sambil memelukku erat dari belakang, ia terlihat begitu damai seolah-olah beban dunia berada di pundak siapa pun kecuali di bahunya sendiri. Dengan cara yang paling lembut, aku mencium dahinya agar tidak membangunkannya. Dan tak kuasa menahan senyum ketika menyaksikan mata kelabu itu terbuka perlahan. "Selamat pagi." Bisikku.
Draco mengerang, lalu menatapku dengan matanya yang masih setengah mengantuk. "Apa ini mimpi." la bersuara. "Jika benar ini mimpi, aku tidak ingin terbangun."
"Aku juga mengharapkan hal yang sama." Jawabku sambil mengelus wajahnya, membuat kedua matanya kembali terpejam.
Tetapi kemudian, Draco langsung mengangkat tubuhnya dan beranjak turun dari tempat tidur disusul olehku yang masih mengawasinya. "Kau harus segera pulang." Ia berjalan mendekati pintu kamarnya lalu membukanya sedikit agar bisa memeriksa keadaan di luar sana yang ternyata masih sepi, menghela napas lega karena ibu dan bibinya belum terbangun. "Aku akan mengantarmu ke bawah." Ia mendekat namun sebelum itu memungut mantel hitamku yang semalaman tergeletak di lantai kamarnya, memasangkannya kembali di tubuhku.
Tanpa membiarkanku berbicara, ia sudah menarik tanganku dengan lembut, membawaku keluar dari kamarnya menuju ke tempat dimana aku pertama kali muncul. Draco terlihat gelisah sepanjang kami berjalan dan begitu tiba di tangga besar yang akan kami lewati, ia menoleh sebentar ke arah sayap kanan manor, tempat dimana kamar ibunya berada. Lorong area itu tidak jauh berbeda dengan lorong sayap kiri, terlihat sepi dan agak gelap. Kami tiba di depan perapian tidak lama kemudian, dan dari sana muncul api hijau terang saat Draco menyentuh dindingnya.
Kami berdiri saling berhadapan selama beberapa saat, lalu kedua tangan Draco bergerak menyentuh lengan atasku, meremasnya pelan. Terlihat sekali dia tidak ingin aku pergi dari sini. "Kita akan bertemu lagi di Hogwarts." Ucapku sambil tersenyum dan ia mengangguk pelan, ikut tersenyum tipis
"Aku akan merindukanmu." Draco memelukku, menyesap dalam-dalam aroma tubuhku.
"Begitu pun aku." Balasku. la sedikit menjauhkan tubuhnya agar bisa mencium bibirku dengan ciuman seringan bulu.
"Aku tak ingin menahanmu lebih lama lagi." Lelaki itu meraih cawan emas berukiran rumit berisi bubuk floo yang terletak di atas perapian. Saat ia menyodorkannya, aku memasukkan tanganku ke dalam sana, mengambil sedikit isinya dan kemudian berjalan memasuki perapian. Bersamaan dengan jatuhnya bubuk itu, aku mengucapkan nama tempat yang akan menjadi tujuanku, tak lain tak bukan adalah ruangan kerja Egor. Menit berikutnya, sosok Draco menghilang dari pandanganku tergantikan oleh rak-rak buku yang menjulang tinggi.
Sekarang pukul tujuh pagi dan lorong-lorong manor masih terlihat sepi, biasanya kedua oranguaku masih tertidur setelah semalaman lembur. Dan ini memudahkanku untuk kembali ke kamar tanpa harus takut ketahuan oleh mereka berdua. Tetapi begitu melihat keduanya berdiri di depan pintu kamarku, jantungku langsung berdegup cepat. Terdiam membeku saat ayah menyadari keberadaanku di luar sini. Aku mengalihkan tatapanku dari sorot bertanya-tanya yang dilemparkan ayah dan ibu. "Ternyata kau sudah bangun, sayang." Ucap Simon. "Kenapa kau memakai mantel di dalam rumah? Kau habis darimana?" Kini ia memandangku dengan tatapan menyelidik.
Jelas sekali, mereka tidak akan senang mendengar jika aku baru saja kembali dari Malfoy Manor. Disaat aku sedang memikirkan jawaban lain yang lebih masuk akal, tiba-tiba ibu bersuara. "Sudahlah Simon, mungkin dia hanya pergi berkeliling. Kita harus segera pergi." Ia berjalan mendekatiku disusul oleh ayah.
"Ada apa? Kalian harus pergi kemana?" Tanyaku.
"Semalam jabatan kami dinaikkan, dan posisi kami saat ini mengharuskan kami untuk terus berada di kementerian." Jawab Isabel sambil memegang kedua bahuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belongs To Malfoy
Fanfiction15+ Ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Hogwarts, semua yang Calla inginkan hanyalah memiliki teman dan menjadi murid berprestasi. Jatuh cinta adalah hal terakhir yang ia inginkan, bahkan itu tidak pernah sekalipun terlintas dalam piki...