Sambil memeluk lengan ayah, aku berjalan memasuki stadion pertandingan sementara grandpa memimpin di depan. Ribuan orang bergerak di sekitar kami, teriakan-teriakan dan tawa, penggalan-penggalan nyanyian. Atmosfer kegairahan tinggi itu menular, membuatku tak bisa berhenti tersenyum. Tangga menuju ke stadion itu berlapis karpet ungu tua. Kami naik bersama para penyihir lain, yang perlahan menyebar memasuki setiap pintu yang kami lewati. Sekitar seratus ribu kursi disediakan bagi penonton, dan melihat jumlah orang yang hadir malam ini, kursi-kursi itu bisa terisi dengan mudah. Sepanjang perjalanan menuju tempat duduk yang tertera di tiket, ayah terus saja bercerita tentang tim kebanggaannya. Berhubung aku tidak terlalu mengerti segala sesuatu mengenai Quidditch, jadi aku hanya mendengarkannya dan pura-pura bersikap tertarik dengan semua itu.
Hingga kemudian, grandpa berhenti berjalan untuk berjabat tangan dengan Lucius Malfoy yang tampaknya sedang bicara dengan seseorang. Setelah mengikuti arah pandangnya, senyumanku semakin melebar lalu melambaikan tangan saat mendapati Harry, Hermione, dan Ron bersama keluarganya berdiri di atas sana. Wajah Fred dan George dilukis mengikuti warna bendera Irlandia, salah satu tim yang akan bermain malam ini, keduanya juga mengenakan syal hijau-putih dan topi tinggi berwarna senada. Sementara Harry dan Ron mendukung tim Bulgaria, bisa kusimpulkan dari aksesoris yang mereka pakai saat ini.
Mereka semua tampak begitu santai dan begitu menyatu dengan suporter lain. Tidak seperti diriku yang terlihat kaku dan formal dalam balutan gaun renda hitam yang jatuh di atas lutut, ini membuatku merasa seolah aku berada di tempat yang salah. Aku berpenampilan seperti ini hanya karena kami akan berada di satu tempat yang sama dengan Cornelius Fudge, meski ayah tidak terlalu mempedulikan cara berpakaianku. Namun rasanya sangat tidak pantas ditambah setelah melihat penampilan grandpa dan ayah. Keduanya memakai jubah beludru hitam yang dipelisir dengan emas sehingga mampu memancarkan aura rupawan yang ada dalam diri keduanya.
"Halo Arthur!" Seru ayah, ikut melambaikan tangan. "Kau duduk dimana?"
Arthur tersenyum ceria. "Tempat duduk khusus, paling tinggi." Ia mengarahkan telunjuknya ke atas.
"Beruntung sekali kau bisa mendapatkannya." Kata ayah sambil tertawa. "Itu tempat yang bagus untuk menonton pertandingan."
"Yeah, kursi itu layak ditunggu."
"Baik, sampai jumpa lagi Arthur." Sebelum lanjut berjalan, ayah dan grandpa mengangguk kepada Arthur.
Setelah kembali menurunkan pandanganku, aku baru bisa melihat sosok Draco Malfoy tersenyum miring menatapku lekat-lekat. Ia berdiri di sebelah Lucius, tampak menggoda dalam stelan hitamnya itu. Rambut pirangnya di sisir ke samping sehingga tidak lagi jatuh menutupi sebagian dahinya seperti biasa. Grandpa, Lucius dan Draco mulai berjalan memimpin diikuti olehku yang masih memeluk lengan ayah. Obrolan dibuka dengan membahas sumbangan besar yang diberikan Lucius untuk St. Mungo, Rumah sakit khusus Penyakit dan luka-luka sihir. Sedangkan aku hanya terdiam membisu sambil mengamati keadaan sekitar.
"Ah, Fudge." Kata Lucius, mengulurkan tangannya ketika kami tiba di dekat Menteri Sihir.
"Halo, halo." Sapa Fudge, tersenyum dan membungkuk saat melihat grandpa.
"Apa kabar? Kurasa kau belum pernah bertemu putraku, Draco?" Lelaki itu mengulurkan tangannya kepada Fudge. "Dan ini calon menantuku, Calla Avery." Ayah langsung mendelik memandang Lucius setelah mendengarnya.
"Ah, jadi kau putrinya Simon? Senang bisa bertemu denganmu miss Avery." Kata Fudge lalu menatapku dan Draco bergantian. "Kurasa kalian akan menjadi pasangan serasi, pewaris tunggal Malfoy menikah dengan putri kebanggaan Avery."
Ayah mendengus. "Jangan dengarkan kata-kata Lucius."
"Semua siap?" Kata seorang pria paruh baya yang tiba-tiba muncul. "Pak Menteri... siap menonton?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Belongs To Malfoy
Fanfic15+ Ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Hogwarts, semua yang Calla inginkan hanyalah memiliki teman dan menjadi murid berprestasi. Jatuh cinta adalah hal terakhir yang ia inginkan, bahkan itu tidak pernah sekalipun terlintas dalam piki...