Hari ini adalah hari kunjungan pertama murid kelas tiga ke Hogsmeade. Namun sayang sekali, Harry tidak bisa pergi kesana karena pamannya yang picik itu tidak mau menandatangani suratnya ditambah Profesor McGonnagal juga tidak bisa membantu karena dia hanyalah kepala asrama gryffindor, bukan walinya. Kami bertiga berjalan menghampiri Harry sebelum memutuskan bergabung bersama murid-murid lain di sekitar gerbang masuk Hogwarts. Sekilas aku melihat Draco yang sempat melirik ke arahku sebelum berjalan pergi bersama teman-teman satu asramanya. Rambut pirang pemuda itu jatuh menutupi dahinya dan memancarkan kilau yang indah. Saat menatap mata kelabunya yang tajam, aku merasa tertarik ke arahnya, nyaris karena semacam kekuatan magnetis.
"Kalian bersenang-senanglah, jangan pikirkan aku." Kata Harry dengan suara yang diharapkannya akan terdengar tak peduli.
"Nanti kami bawakan banyak permen dari Honeydukes." Kata Hermione, merasa kasihan dengan Harry.
"Yeah, banyak sekali." Sahut Ron.
"Aku akan membawakanmu pena bulu dari toko Scrivenshaft's Quill." Ujarku sambil tersenyum.
"Terima kasih, kawan." Ucap Harry, tersenyum tipis lalu ia masuk ke dalam gedung sekolah, memutuskan kembali ke menara gryffindor.
Setelah punggungnya menghilang di balik tikungan, kami bertiga menyusul murid-murid lain yang mulai bergerak menaiki kereta bersama dengan rombongannya. Mr. Filch, si penjaga sekolah, berdiri mengawasi setiap wajah dengan curiga sambil mencocokkan nama-nama pada daftar panjang, memastikan tak ada yang menyelundupkan anak yang seharusnya tetap tinggal di sekolah. Kami bertiga bersama dengan Padma, Parvati, dan Lavender, yang kukenal hanya sebatas murid tahun ketiga dari asrama gryffindor, menjadi rombongan terakhir yang pergi meninggalkan Hogwarts.
Raut wajah Lavender terlihat begitu sedih, di sisi lain Parvati berusaha menghiburnya dengan memeluknya dari samping. Aku hanya menatap keduanya dengan pandangan bertanya-tanya, mungkin hanya dia yang terlihat tidak menikmati kunjungan ke Hogsmeade ini. Tapi pasti ada alasannya mengapa dia bersikap seperti itu, dan rasa penasaran mulai menyelimuti diriku namun aku tidak berani bertanya karena kami tidak pernah saling bicara sebelumnya. Pasti akan terasa canggung jika aku yang memulai percakapan.
Lavender yang kukenal adalah seorang gadis yang selalu antusias saat mengikuti kelas ramalan bersama dengan si kembar Patil, sementara aku dan Hermione hanya menatap bosan ke arah Profesor Trelawney, sedangkan Ron selalu mengantuk selama kelas berlangsung, dan Harry sendiri mencoba berusaha untuk berpikiran positif setelah mendengar ramalan mengerikan tentang dirinya dari Profesor Trelawney yang diucapkan dengan nada dramatis.
"Ada apa Lavender?" Tanya Hermione cemas.
"Dia mendapati surat dari rumah pagi ini." Jawab Padma. "Kelincinya, Binky. Mati karena dibunuh rubah." Aku ikut merasa sedih setelah mendengarnya.
"Mestinya aku sudah tahu!" Kata Lavender tragis. "Kau tahu tanggal berapa hari ini? Enam belas Oktober! Hal yang sangat kau takut-kan, akan terjadi tanggal enam belas Oktober! Dia betul, dia betul." Lalu terisak sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan, ia mengulangi perkataan Profesor Trelawney waktu itu.
"Aku turut berduka cita, pasti Binky kelinci yang menggemaskan." Kataku.
"D-dia masih bayi." Isaknya, dan Parvati mengeratkan pelukannya di bahu Lavender.
"Kau takut Binky akan dibunuh rubah?" Tanya Hermione ragu-ragu.
"Tidak harus rubah." Kata Lavender, mendongak menatap Hermione dengan air mata berlinang. "Tapi jelas aku takut dia mati, kan?"
"Tapi, kalau begitu, kenapa kau takut dia mati?" Parvati mendelik memandangnya, dan aku langsung menyikutnya pelan. "Kita pikir secara logis. Maksudku, Binky tidak mati hari ini mungkin saja kejadiannya kemarin lusa, mengingat kau juga baru menerima kabarnya tadi pagi..." kalimatnya terpotong karena tangisan Lavender yang semakin mengeras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belongs To Malfoy
Fanfiction15+ Ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Hogwarts, semua yang Calla inginkan hanyalah memiliki teman dan menjadi murid berprestasi. Jatuh cinta adalah hal terakhir yang ia inginkan, bahkan itu tidak pernah sekalipun terlintas dalam piki...