Sejak Aisha lahir, Gilang selalu terlihat berbinar. Meski lelah karena harus membantu Syafa mengurus bayi kecil mereka. Tetap saja Gilang tersenyum bahagia.Hal itu tentu saja menular pada Syafa. Karena sangat menyayangi putri kecil mereka, Syafa sangat terbantu.
Gilang adalah sosok ayah yang mau membantu merawat. Di tengah malam pun, ia rela bangun untuk memberikan ASI yang sudah Syafa perah sebelumnya. Lelaki itu sebisa mungkin membiarkan Syafa tidur.
Senang?
Jelas. Syafa tidak harus mengalami tekanan batin karena lelah sendiri mengurus bayinya. Bahkan urusan memandikan di pagi hari pun dikerjakan oleh Gilang.
"Kang, besok kan aku udah mulai ngajar, beneran nih si Ai dititipin di day care?" Tanya Syafa.
Berhubung Syafa dan Gilang adalah pasangan bekerja, jadi urusan anak membuat mereka cukup kepikiran.
Selama tiga bulan ini kan, Syafa cuti dan bisa seharian menjaga Aisha. Terkadang bunda dan mamah juga ikut menemani. Tapi keduanya punya komitmen. Tidak akan merepotkan orang tua dengan menitipkan anak pada mereka. Meski sebenarnya mereka tidak keberatan.
"Ya jadi. Akang udah daftarin. Lagian day care-nya kan di dalam kantor akang. Ada banyak anak temen-temen akang dititip dari bayi di sana." Jelas lelaki itu.
Memilih menggunakan jasa penitipan anak memang tidak sembarangan untuk mereka. Untungnya, kantor Gilang memikirkan hal ini. Jadi para pegawai yang punya anak tidak perlu khawatir meninggalkan anaknya di rumah.
"Jangan lupa semepetin tengok loh ya." Pesan wanita itu pada Gilang.
"Iya. Ntar tiap jam istirahat akang pasti ke tempat Aisha." Janji Gilang.
Hal itu membuat Syafa menjadi lebih tenang. Ia bisa bekerja seperti biasa tanpa perlu khawatir berlebih. Ia juga percaya, orang-orang di day care cukup profesional. Kantor Gilang alias perusahaan milik keluarga Rio kan tidak mau menerima pegawai sembarangan.
Sisi positif dari Gilang yang sangat menyayangi Aisha memang membuat Syafa lebih santai. Tapi...
Putrinya jadi terlalu dekat dengan sang ayah hingga cukup asing dengan Syafa.
Aisha jauh lebih tenang saat ayahnya yang menggendong. Bayi itu akan tertawa saat bermain dengan Gilang. Sementara Syafa harus mati-matian membuatnya tertawa.
Selain itu, keterampilan Syafa dalam hal mengurus anak juga semakin tumpul. Ia bahkan masih kaku jika harus memandikan anaknya sendiri.
Kini, Syafa malah pusing karena Gilang ada pekerjaan di luar kota selama beberapa hari.
"Udah, kakak nginep di sini aja. Biar bunda bantuin jaga Ai." Usul bunda ketika wanita itu bertandang ke rumah orang tuanya.
Gilang sudah berangkat sejak pagi. Sementara Syafa khusus mengambil cuti untuk merawat bayinya selama beberapa hari.
"Iya ih, Bun. Kakak jadi ngerasa bodoh banget. Kaku ngerawat anak sendiri." Keluh wanita itu.
"Ya bunda juga dulu gitu. Belum pengalaman." Tanggap bunda.
"Ai!" Seru si bungsu Syana dari depan pintu kala melihat kereta dorong di dekat sofa. Pemuda itu berlari kecil menuju dapur dan segera melepas jaket dan mencuci tangannya sebelum mengambil alih gendongan Ai dari tangan si kakak.
Tatapan Syafa semakin nanar. Adiknya juga begitu luwes menggendong Aisha. Seperti terbiasa dengan anak bayi.
"Kok kamu bisa gendongnya lihai sih, Dek?" Tanya Syafa.
"Iyalah. Adek kan sering jadi volunteer di panti asuhan." Jawab si bungsu.
Pemuda itu membawa keponakannya masuk kamar. Sementara bunda hanya tersenyum melihat bagaimana putri sulungnya merasa insecure akan kemampuan diri sebagai seorang ibu.
"Waktu yang bakalan bikin kamu mahir, Kak." Pesan bunda.
.
.
.
"Anak ayah udah lebih besar." Hal pertama yang Gilang ucap saat melihat putrinya."Baru tiga jari ditinggal, Kang. Nggak ada pengaruhnya." Komentar Syafa.
"Ya ada dong, Buna. Tiap hari kan Aisha bertumbuh." Tanggap lelaki itu.
Ia menimang bayi Aisha yang baru berusia empat bulan itu. Mengajaknya bicara seakan bayi itu mengerti apa yang sang ayah ucapkan.
Sambil menopang dagunya dengan tangan, Syafa hanya diam menonton. Mungkin perlakuan Gilang pada Aisha memang wajar. Mereka cukup kesulitan untuk akhirnya bisa menghadirkan bayi mungil itu di keluarga kecil mereka.
Lebih dari dua tahun mereka menanti. Meski awalnya santai saja. Tapi Syafa sempat stres karena tekanan tiap orang yang bertanya tentang momongan.
Syukurnya, Tuhan akhirnya mempercayakan mereka menjadi orang tua setelah ikut program sana-sini.
"Kang." Panggil Syafa. Wanita itu menegakkan duduknya.
"Ya?"
"Jangan terlalu manjain Ai, ya. Nggak baik."
Senyum Gilang merekah. Ia ikut duduk di dekat Syafa. Lalu merangkul wanita itu dengan sebelah tangannya yang bebas.
"Iya, Buna."
Sejatinya, Gilang juga tahu batasan. Ia tidak ingin menjadikan putri mereka sebagai anak manja. Meski cukup sulit baginya untuk tidak terlalu menunjukkan kasih sayang yang berlebih.
"Tapi Bun. Mungkin lebih baik kalau sayangnya ayah juga bisa dibagi ke yang lain."
"Bagi-bagi gimana? Mau cari mama baru buat Ai?" Tuduh Syafa dengan mata memicing.
"Ya enggaklah."
"Terus itu apa maksudnya?"
"Maksudnya dibagi ke saudaranya Ai."
Syafa mencebik. Kalau itu sudah pasti. Tapi Aisha saja batu empat bulan. Gila namanya jika mereka merencanakan untuk memberi adik untuknya.
"Ya itu nanti-nanti aja, Kang. Sayangin Aisha aja dulu sepenuh hati." Ucap Syafa cepat-cepat. Ia masih belum sanggup untuk mengulangi proses mengandung. Sangat tidak nyaman dan cukup membuatnya menderita.
Melihat reaksi Syafa, Gilang hanya tertawa renyah. Ia mengeratkan rangkulannya dan mencium pipi Syafa sekilas.
"Take your time, Buna." Bisiknya dengan nada menyebalkan.
.
.
.Yups! Bonus singkat dari Syafa dan Gilang. Hope you enjoy, ya. Dan jangan lupa mampir ke lapak cerita-cerita yang lain 😊. Thanks!
KAMU SEDANG MEMBACA
Partner Kondangan (Complete)
RomanceDalam sebulan, Syafa bisa menghadiri lima kali kondangan. Sebenarnya tidak masalah, toh gadis itu senang-senang saja karena bisa mencicipi makanan gratis. Masalahnya adalah partner kondangan yang tidak pernah permanen.