20. Broken

3.9K 457 15
                                    


Bahkan hingga hari di mana harusnya Sadewa datang bersama orang tuanya terlewati, lelaki itu belum juga bisa di hubungi.

Marah?

Tentu saja. Siapa yang tidak marah jika diberi harapan palsu seperti itu?

Syafa jelas sudah menyerahkan hatinya pada Sadewa. Tapi yang ia dapat seperti ini.

Sadewa seperti menghilang ditelan bumi. Tak ada jejak yang bisa Syafa ikuti. Kontak orang tuanya pun ia tidak tahu.

Bodoh bodoh bodoh.

Rutuk gadis itu pada dirinya sendiri. Ia merasa terlalu terlena dengan ucapan-ucapan Sadewa. Terdengar begitu manis dan menjanjikan.

"Kak." Panggil Syana. Pemuda itu berlari kecil menghampiri sang kakak yang berdiri di depan lobi sekolah sambil menatap langit kelabu.

Hari sudah sore. Namun langit telah menggelap karena mendung. Udara pengap dan panas berubah menjadi sedikit berangin. Bulir air pun perlahan turun membasahi tanah.

Hujan.

Entah kenapa, cuaca akhir-akhir ini sangat mendukung suasana hati Syafa.

"Hujan kak. Tungguin reda bentar ya. Adek lupa bawa jas hujan." Ucap Syana. Ia mundur dan duduk di bangku selasar.

"Dek." Gadis itu menatap adiknya. "Terabas aja. Kayaknya hujan awet. Nanti malah keburu Maghrib sampai rumahnya."

Sebagai adik penurut, Syana akhirnya beranjak. Untung saja tas pemuda itu dilengkapi pelindung hujan. Jadi tidak perlu takut isinya basah.

"Tas kakak?"

"Simpen di jok."

"Oke. Tungguin aja sini. Adek ambil motor di parkiran."

Syana pun berlari menerobos hujan untuk mengambil motor. Sementara Syafa menunggu, ia membuka ponsel. Memeriksa apakan pesannya sudah dibaca oleh Sadewa.

.
.
.

Ibu kota dan hujan.

Orang-orang selalu diuji kesabarannya saat seluruh kota basah. Air menggenang menjadi masalah utama. Berakibat macet di beberapa ruas jalan.

Air terus mengguyur tubuh Syafa. Ia memeluk adiknya dengan erat. Gadis itu bahkan membenamkan wajahnya pada pundak sang adik.

Diam-diam menangis.

Kali ini, ia menangisi kebodohannya. Ia menumpahkan rasa sakit di hatinya.

Hujan membuatnya tidak perlu merasa malu karena telah mengeluarkan air mata. Itu sebabnya Syafa mengajak Syana tetap pulang walau harus basah.

"Kak!" Panggil pemuda delapan belas tahun itu. "Hujannya makin deres. Kita berteduh ya... Mata adek kecolok air nih."

"Oke!"

Syafa kasihan juga dengan adiknya. Apalagi memang hujan mengguyur seperti air yang jatuh dari ember raksasa. Tubuhnya juga terasa sakit terkena hantaman air hujan.

Motor Syana memelan dan berhenti di sebuah pertokoan kosong. Di terasnya ada beberapa orang berteduh.

Syafa dan Syana bergabung dengan mereka dalam keadaan basah kuyup. Tubuh Syafa bahkan menggigil karena dingin.

Melihat itu, Syana yang merasa lebih kuat mendekat ke kakaknya. Pemuda itu kemudian merangkul sang kakak.

"Kalo mau nangis, nangis aja sekarang. Biar nanti di rumah nggak ditanyain," ujar Syana. Seakan tahu apa yang dilakukan Syafa sejak tadi di bawah guyuran hujan.

Partner Kondangan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang