Langit kelabu menyambut Syafa yang baru saja keluar dari mini market sekitar perumahan. Masih mengenakan bawahan batik dan atasan tunik, ia baru pulang kondangan dan menyempatkan diri mampir untuk membeli minuman segar.
Kondangan kali ini, Syafa terpaksa pergi sendirian. Adik-adiknya terlampau sibuk. Syandana lembur di kantor, Syabil ada bimbingan dengan dosennya, Syafiq dan Syana ikut ayah-bunda ke rumah nenek di Bandung.
Gadis itu menghela napas. Ia berdiri di ambang pintu sambil menatap rintik hujan yang mulai turun. Bisa saja ia berlari menerobos hujan, tapi sayang baju kondangan kesayangan yang sedang di pakai bisa rusak. Jadi menunggu adalah jalan keluar paling masuk akal saat ini.
Syafa duduk di bangku tinggi yang sengaja pihak mini market siapkan untuk para pembeli yang ingin makan makanan instan atau minum di tempat. Tatapan matanya masih fokus menerawang jendela kaca yang mulai berembun.
"Syafa?"
Gadis itu menoleh saat merasa dirinya di panggil.
"Hai, Bang Elang." Sapa gadis itu dengan nada lesu.
Elang ikut duduk di bangku tinggi sebelah Syafa. Ia mengeluarkan kopi kaleng dari plastik dan membukanya. Lelaki itu mengikuti arah pandang Syafa.
"Hujan." Gumamnya pelan sambil sesekali meneguk kopi. "Inget nggak, dulu kamu sering hujan-hujanan keluar dari angkot?"
Kepala gadis itu menoleh. Menatap wajah Elang dari samping.
"Kok tau?" Tanyanya heran.
"Soalnya saya sering lihat kamu dari toko di dekat halte. Waktu itu saya berteduh di sana. Kayaknya itu pas kamu masih SMP dan saya SMA." Jelas Elang.
Ingatan Syafa menerawang. Kembali ke masa dirinya masih memakai seragam putih biru. Masa di mana saat itu ia menjadi bucin akut Bang Elang. Mungkin kalau mendengar penuturan lelaki itu ketika masih jadi bucin, Syafa akan sangat bahagia.
"Kadang tiap hujan saya juga sering lihat Abang main di luar. Pasti mampir ke rumah ngajakin Syandana sama Syabil juga. Terus tiap hujan deras, Bang Elang pasti jadi orang pertama yang ngerukin sampah-sampah di got supaya jalanan komplek nggak banjir." Sambung gadis itu sambil tersenyum.
Sesekali, gadis itu dulu sering keluar memakai payung dan melihat apa yang dilakukan oleh Elang.
"Oh ya?" Lelaki itu tertawa kecil sambil menggosok pelipisnya. "Denger kamu yang ngomong begitu, kok berasa habis ngelakuin hal yang mulia sekali."
"Memang itu hal mulia dan patut di tiru. Makanya, setelah Bang Elang pergi kuliah ke luar kota terus lanjut ke luar negeri, saya selalu menyuruh adik-adik ngelakuin hal yang sama kayak Abang." Syafa tersenyum lembut.
"Ngomong-ngomong..." Elang menatap wajah Syafa dengan intens. "Kamu pulang kondangan?"
Gadis itu mengangguk, "iya. Biasa. Kegiatan setiap akhir pekan."
"Pergi sendirian?" Tanya lelaki itu tidak percaya.
Syafa mengangguk, "biasanya sih Syandana atau Syabil atau Syafiq atau Syana ikut. Cuma hari ini nggak ada yang bisa. Jadi sendirian aja."
"Memang nggak ada orang lain yang bisa di ajak pergi? Pacar kamu ke mana?" Tanya Elang.
Tawa kecil keluar dari mulut gadis itu, "pacar? Kalau ada juga statusnya pasti bukan pacar, Bang. Nggak boleh sama ayah. Kalau ada yang mau mending langsung nikah katanya."
"Om Rian bilang gitu?"
"Iya."
"Betul sih.. kalau sekedar pacaran nggak ada landasan hukum ya. Jadi bisa saling seenaknya sendiri." Lelaki itu manggut-manggut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Partner Kondangan (Complete)
RomanceDalam sebulan, Syafa bisa menghadiri lima kali kondangan. Sebenarnya tidak masalah, toh gadis itu senang-senang saja karena bisa mencicipi makanan gratis. Masalahnya adalah partner kondangan yang tidak pernah permanen.