44. Iya atau Iya

4.3K 507 11
                                    


Bunda tersenyum lebar ketika menerima Gilang dan mamahnya di rumah. Tidak hanya datang berdua, lelaki itu juga memboyong neneknya serta paman dan bibinya.

Kedatangan yang mendadak di Sabtu pagi itu membuat Syafa kelimpungan. Pasalnya ia masih berantakan. Baru bangun tidur.

"Cepetan mandi, Kak." Perintah ayah yang melewati pintu kamar si sulung. Beliau mengelus pelan kepala Syafa dan tersenyum hangat. "Anak ayah udah dewasa." Ucapnya.

Otak gadis itu sedang berusaha mencerna situasi. Ketika sadar apa yang terjadi, ia membelalakkan mata. Syafa cepat-cepat ke kamar mandi untuk bersiap.





"Gila. Serius si akang." Gumamnya saat sedang mencuci muka.

Ia melihat pantulan wajahnya di cermin wastafel. Lalu menggeleng kuat. Tidak percaya ucapan dua hari lalu di swalayan benar-benar dilakukan oleh Gilang.

"Kak, ditungguin loh." Suara Syandana di luar pintu kamar mandi membawa pesan.

Tiba-tiba jantung Syafa berdetak kencang. Ia gugup, dan tidak bisa berpikir. Apa yang harus ia ucapkan di ruang tamu nanti.





Gugupnya lebih dari saat menghadapi ujian masuk perguruan tinggi. Gadis itu duduk diantara ayah dan bunda dengan kaku. Di hadapannya ada Gilang yang juga duduk di apit mamah dan pamannya, selaku wakil dari almarhum bapak lelaki itu.

"Gimana Syafa? Diterima kan?" Tanya ayah.

Jujur, gadis itu sama sekali tidak memerhatikan pembicaraan para orang tua. Raganya memang duduk di situ, tapi jiwanya sudah melayang entah ke mana.

Mendapat pertanyaan itu, Syafa terdiam. Ia melirik ke arah Gilang. Lelaki itu menggerakkan bibirnya membentuk satu kata 'iya' tanpa suara.

Ini keputusan besar. Terakhir kali meng-iyakan, semua berakhir berantakan.

Bisa di bilang, Syafa mengalami trauma. Gadis itu takut hal yang sama akan terjadi. Namun logikanya menyentak.

Dulu, belum pasti. Tapi sekarang Gilang datang tidak sendiri. Lelaki itu membawa serta keluarganya. Melamar secara resmi. Meminta Syafa melalui orang tua ke orang tua gadis itu juga.

Seluruh orang dalam ruangan menunggu jawaban. Para adik Syafa yang duduk di pojok ruangan bahkan menatapnya sambil mengangguk-ngangguk.

Gadis itu menarik nafas dan menghembuskannya pelan sebelum mulai berbicara. "iya."

Seketika para adik heboh. Seperti sedang bersorak saat menang bermain game. Apalagi Syafiq dan Syana. Rasanya, merekalah yang paling bahagia.

Mata Syafa kini tertuju pada sosok Gilang. Lelaki itu tersenyum lebar sambil merapal kata 'terima kasih'.






.
.
.







"Kenapa harus bulan depan sih, Bunda. Bulan depan itu kan tinggal dua Minggu lagi. Emang nggak kecepetan?" Protes Syafa ketika rombongan Gilang pulang.

Gadis itu berada di dapur, membantu mencuci gelas dan piring bekas menghidangkan kudapan.

"Lebih cepat lebih baik, kak." Sahut ayah yang melewati dapur sambil mengangkat kursi plastik untuk dikembalikan ke gudang.

"Tapi...-"

"Emang apa lagi sih yang kakak tunggu? Kalian kan udah kenal lama." Syandana ikut nimbrung. Ia sedang membersihkan mesin kopi kesayangannya.

"Bener kata adik kamu. Lagian kita nggak repot kok. Pakai WOnya Tante Za. Beres." Ucap bunda. "Bunda udah urus itu. Nanti tinggal minta duitnya sama kamu sama Gilang juga."

Partner Kondangan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang