"Kak." Panggil bunda ketika memasuki rumah setelah mengikuti arisan RT sore hari ini. Syafa sendiri baru saja pulang kondangan. Bahkan make up pada wajahnya belum terhapus secara sempurna.
"Kenapa bun?" Tanya gadis itu, menghampiri bunda ke dapur. Ia duduk di kursi makan dan membuka kotak kue yang bunda bawa.
"Tadi bunda lihat Elang." Ucap wanita patuh baya itu dengan bersemangat dan wajah berbinar. "Tambah ganteng ya?"
"Oh." Tanggap Syafa.
"Kamu nggak mau sama si Elang? Kan mapan, ganteng, masih jomblo juga katanya ibunya."
Mendengar penuturan bunda, Syafa terkekeh. "Wah... bunda mau ikut-ikutan ibu-ibu komplek ya? Memperebutkan Bang Elang biar bisa jadi menantunya?"
Bunda tertawa kecil, "biar ikutan tren komplek, Kak."
Ibu dan anak itu tertawa bersama.
Sejatinya, bunda tidak pernah mempermasalahkan umur dan pasangan sang putri semata wayang. Baginya, Syafa hidup bahagia saja sudah cukup. Walau begitu, seorang ibu tetap menginginkan ada seseorang yang bisa hidup mendampingi sang putri.
"Tapi emang bener. Si Elang itu calon potensial. Nggak salah kalau ibu-ibu lain berebut nyodorin anak gadisnya buat bisa di pinang sama Elang." Lanjut bunda.
"Kakak itu masih belum ngerti, potensialnya itu apa sih?"
Sungguh Syafa selalu mendengar kata 'potensial'. Namun hingga saat ini masih belum jelas makna di balik itu.
"Potensial kak. Kerjaannya bagus, otomatis finansialnya stabil. Orangnya baik, itu yang penting." Syandana ikut nimbrung. Ia mencomot risoles dari dalam kotak kue. "Intinya sih hidup kakak bisa terjamin masa depannya."
"Seratus buat Dana." Timpal bunda.
"Menurut bunda, Dana potensial nggak?" Tanya Syafa ingin tahu. Adiknya itu kan punya pekerjaan yang bagus, wajah tampan, dan sangat baik hati. Walau terkadang mengesalkan bagi Syafa.
"Iya dong... potensial sekali. Makanya sering jadi rebutan ibu-ibu komplek juga biar anak gadisnya di lirik sama adik kamu ini. Cuma kayaknya Dana cuek banget ya, sama anak-anak gadis di komplek." Komentar bunda.
"Bukan gitu bun. Masalahnya yang ngejer-ngejer abang tuh pada masih ABG semua." Adu Dana.
Syafa dan bunda kemudian tertawa. Mereka menepuk-nepuk bahu lelaki dua puluh empat tahun dengan gemas.
"Ada lagi yang potensial bun." Syabil yang sejak tadi rebahan di sofa ruang keluarga dan mendengar obrolan bunda serta kakak-kakaknya nimbung juga. "Bang Sadewa."
"Oh iya... ada Sadewa juga. Bunda kaget loh... dulu kan dia kurus ceking gitu. Suka main layangan sama Bang Dana. Eh... sekarang malah ganteng banget ya? Ya kan kak?" Cerocos bunda.
"Biasa aja sih." Tanggap Syafa.
"Picek dia." Ejek Dana.
"Kamu tinggal pilih kak. Bunda setuju-setuju aja kalau sama Elang atau Sadewa."
"Berasa milih apaan aja si bunda. Emang merekanya ada yang mau sama kakak?"
"Iya bun... percuma kakak milih tapi ternyata pada nggak minat."
Cibiran Syabil itu membuat sandal rumah milik Syafa melayang tepat ke wajah tampan adiknya itu. Sementara Dana dan bunda malah tertawa puas menonton adegan tersebut.
Seru dengan suasana hangat di sore hari ini, semakin semarak ketika Syana dan Syafiq memasuki rumah. Duo bungsu itu dengan manisnya memeluk bunda. Walau mendapat protesan karena keduanya bau kecut akibat keringat bercucuran. Namun baik Syana maupun Syafiq tidak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Partner Kondangan (Complete)
RomanceDalam sebulan, Syafa bisa menghadiri lima kali kondangan. Sebenarnya tidak masalah, toh gadis itu senang-senang saja karena bisa mencicipi makanan gratis. Masalahnya adalah partner kondangan yang tidak pernah permanen.