19. Antara

3.6K 453 16
                                    

Syafa membelalakkan mata ketika melihat siapa yang datang.

Elang.

Lelaki itu tersenyum lebar sambil membawa bungkusan di tangan. Ia berpakaian cukup rapi dan wangi.

"Ayo makan, Lang." Ajak Bunda yang tadi membukakan pintu.

"Enggak usah repot-repot, Tante. Saya cuma ada perlu sebentar sama Syafa. Oh iya, ini ada titipan dari Ibu." Tolak Elang.

"Waduh... apa Kak Syafa mau ditembak lagi?" Bisik Syafiq. Membuat para bujang di meja kasak-kusuk.

"Samperin, Kak." Ayah menyuruh si sulung beranjak.

Kali ini Syafa mengajak Elang duduk di bangku teras. Biar lebih privasi. Sementara yang lain melanjutkan aktivitas makan malam.

"Ada apa ya, Bang?"

Syafa tidak mau banyak basa-basi. Ia langsung saja to the point.

Elang yang ditanya malah menghela nafas. Lelaki itu menatap mata Syafa dengan iris coklat gelapnya.

"Syafa," panggil Elang. "Boleh Bang Elang minta jawabannya?"

Seharusnya Syafa tidak lupa. Tapi nyatanya, gadis itu lupa dengan pernyataan yang Elang utarakan beberapa waktu lalu.

Gadis itu menunduk. Ia menggigit bibir bawahnya. Susah sekali untuk Syafa berkata tidak. Ada banyak pertimbangan sebenarnya.

Jika dipikir lagi, Elang itu sangat potensial. Ia lelaki baik dan mapan. Semua ibu-ibu di komplek menginginkannya menjadi menantu. Termasuk Bunda.

Poin tambahan lagi, lelaki itu adalah cinta pertama Syafa. Lelaki pertama yang berhasil membuatnya berdebar saat ditatap. Bahkan tersipu hanya dengan diberi senyuman singkat.

Hanya saja, itu terasa di masa lalu. Sekarang?

Syafa tidak merasakan apa pun. Kebaikan Elang cukup diresponnya dengan senyum tulus tanpa debaran membuncah. Gadis itu menganggap segalanya telah tertinggal di masa lalu.

Lantas, menolak untuk momen ini harusnya tidak sesulit itu.

Namun Syafa tidak enak. Elang terlalu baik untuk secara terang-terangan ia tolak.

"Saya tau. Kamu pasti berat karena dia." Gumam Elang.

Syafa menoleh. Ia membalas tatapan mata Elang.

"Aku tau, kamu punya rasa dan tatapan istimewa untuk laki-laki itu. Sadewa." Lanjutnya.

"Bang..."

Elang tersenyum miris. "Saya terlambat banget kayaknya. Seharusnya saya jujur dari dulu. Tapi malah ngulur waktu. Bahkan nggak pernah pulang karena harus lanjut sekolah."

"Maksudnya?"

"Alasan saya selalu keluar hujan-hujan sambil ngeruk parit karena kamu. Kamu suka sekali lihat hujan sambil bawa payung. Kamu bilang, pengen mandi hujan, tapi nggak bisa karena kamu bisa sakit flu." Elang menerawang masa lalu.

"Jadi sejak hari itu, saya jadikan alasan ngeruk parit supaya bisa temani kamu dari luar."

Gadis itu tertegun. Ia kehabisan kata-kata.

"Waktu saya dapat beasiswa, rasanya berat sekali. Tapi Bapak sama Ibu bilang, ini kesempatan yang nggak bisa datang dua kali."

"Saya pikir, lanjut sekolah dan sukses itu penting. Saya ingin jadi orang hebat sebelum bersanding sama kamu. Walau akhirnya keadaan memaksa saya pergi lebih lama. Saya selalu berdoa supaya Tuhan menjodohkan saya dengan kamu."

Partner Kondangan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang