11. Pilih Mana?

4.7K 559 19
                                    


Teringat dengan omongan bunda tentang masa depan yang potensial, lantas membuat Syafa tidak berpaling mengamati gerak-gerik Sadewa yang meja kerjanya tepat di sebalah. Gadis itu menumpukan kepala di atas tumpukan buku, lalu menatap wajah Sadewa yang serius dari arah samping.

Ganteng itu udah pasti.

Otaknya bersuara.

Pinter? Jelas. Guru Fisika gitu loh.

Lanjut gemuruh pikiran gadis itu.

Berpotensi?

Tubuh Syafa menegak. Kemudian mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi kalkulator.

Gajinya lumayan, bawaan motornya juga nggak bisa di bilang kaleng-kaleng. Cuma... nggak tau itu bayar nyicil apa cash.

Sumpah, Syafa benar-benar sedang tidak ada kerjaan sama sekali. Masalahnya hal-hal seperti ini sempat ia pikirkan.

"Kamu kenapa dari tadi kasuk-kusuk gitu?" Tanya Sadewa yang akhirnya merasa cukup terganggu dengan tingkah Syafa.

"Nggak apa-apa." Jawab gadis itu. Ia kembali merebahkan kepala di atas tumpukan buku. "Dewa." Panggilnya.

"Iya?" Lelaki itu menghentikan aktivitas menulis. Fokusnya beralih pada Syafa. Menatap manik mata gadis jelita tersebut.

"Apa laki-laku pernah kepikiran tentang potential future? Maksud saya, biasanya perempuan kan milih calon pendamping yang punya potensi bisa menghidupi mereka di masa depan. Bagaimana dengan laki-laki?"

"Hmm..." Sadewa nampak berpikir. "Ada."

"Dasar pikirannya gimana? Potensi kayak apa yang di cari?"

"Perempuan yang berpotensi jadi ibu yang baik untuk anak-anaknya." Ungkap lelaki itu. Kemudian tersenyum kecil dan melanjutkan aktivitas mengoreksi hasil kuis.









Ibu yang baik untuk anak-anaknya.

Kalimat itu membekas dengan jelas di otak Syafa. Rasanya ia tersentil. Terganggu dengan itu.

Selama ini, jika mengamati diri sendiri, Syafa termasuk dalam perempuan yang tidak begitu dekat dengan anak kecil.

Lucu sih... senang gendong sebentar atau mengajak bermain sebentar saja. Tapi...

Ya sebatas itu.

Ia sama sekali tidak terbiasa. Mungkin karena faktor dirinya sebagai anak tertua. Sementara saudara-saudaranya juga sudah besar. Punya sepupu pun semua sudah dewasa. Tidak ada anak kecil.

"Ngelamun aja, lo kak." Tegur Rio.

Sore ini sepulang bekerja, lelaki itu tiba-tiba muncul di gerbang sekolah. Membuat rencana Syafa untuk makan nasi goreng bersama Sadewa menjadi tertunda.

"Bukan ngelamun. Tapi mikir."

"Jangan kebanyakan mikir dong... kelihatan tuanya." Cibir Rio.

"Heh!" Syafa menyentil dahi Rio.

Lelaki itu meringis, "wah... bahaya banget. Gue lagi nyetir nih."

Gadis itu tidak peduli. Ia menyandarkan punggung pada kursi. Kemudian menatap jalanan padat di depannya.

"Rio." Panggil gadis itu.

"Apa lagi?"

"Potential future versi kamu itu, gimana?" Tanyanya.

Mobil berhenti sebentar karena jalanan mulai macet.

"Hmm... ya yang bisa ngimbangin gue? Yang penting nggak matre sih." Kemudian Rio terkekeh.

Partner Kondangan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang