Alunan musik akustik menyemarakkan suasana kafe di siang ini. Apalagi pengunjung yang datang tidak seberapa banyak, jadi musik dapat di dengarkan dengan lebih nyaman tanpa ada bising obrolan orang lain.Di kursi pinggir jendela itu, Syafa melihat sosok Sadewa. Lelaki yang pernah membuat hatinya bersemi sekaligus porak-poranda.
Mereka memiliki janji temu. Atas izin Gilang, Syafa akhirnya memutuskan mendatangi lelaki itu. Ia bermaksud untuk mengentaskan semua.
Apa pun yang tersisa dari masa lalu mereka, harus selesai siang ini. Kehidupan keduanya telah berbeda. Syafa punya Gilang dan Sadewa... ya, dia punya Melati serta anaknya.
"Nunggu lama?" Tanya wanita itu. Ia duduk menghadap Sadewa yang kini sedikit lebih kurus.
Dua hari lalu, Syafa tidak memerhatikan tampilan Sadewa. Sekarang ia jelas melihat gurat lelah di wajah lelaki itu.
"Enggak. Baru aja." Lelaki itu tersenyum lebar. Matanya yang memancar kesedihan, sekarang lebih berbinar.
"Sadewa...-"
"Saya menyesal. Seharusnya waktu itu lebih tegas." Potong lelaki itu, sebelum Syafa menyelesaikan ucapannya.
"Memang menyesal itu datangnya belakangan, Dewa." Tanggap wanita itu.
"Mungkin saya kedengaran nggak tau malu, padahal sudah janji untuk hidup bahagia tanpa kamu. Tapi... perasaan memang nggak bisa dipaksa." Sadewa menghela nafas, "makanya, saya berharap ada kesempatan lainnya."
"Maaf." Syafa berujar cepat. Wanita itu memainkan jari manis tempat cincin pernikahannya tersemat. "Saya sudah menikah. Maaf kalo nggak kasih kabar apa pun soal itu."
Mata berbinar Sadewa kembali sayu. Ia menatap Syafa dengan sendu.
"Secepat itu? Maksud saya, kamu menerima orang lain secepat itu setelah kita pisah?" Lelaki itu tampak tidak percaya.
Syafa termasuk wanita yang sulit untuk di dekati. Tapi nyatanya, ia bahkan sempat menaruh harapan pada lelaki lain, meski berujung perpisahan juga.
Melabuhkan pilihannya pada Gilang pun bukannya tidak sulit. Mempertimbangkan hubungan lelaki itu dengan keluarganya, serta mereka yang bukanlah orang asing satu sama lain, membuat Syafa berani.
"Dia bukan sepenuhnya orang asing. Dia baik dan disukai ayah. Dia juga menyayangi saya." Saat mengucapkan kalimat itu, Syafa terbayang sosok Gilang. Lelaki yang sampai sekarang menjadi kesayangan keluarganya.
Sadewa mengangguk lemah, "laki-laki waktu itu, suamimu?"
"Namanya Gilang."
"Oke. Selamat." Sadewa mendongak, ia kemudian tersenyum dengan mata sendu.
"Sadewa... saya nggak tau masalah kamu sama Melati. Tapi saat kamu bilang mau menyelamatkannya, kenapa sekarang menyerah? Bagaimana dengan anak itu?"
Senyum Sadewa sirna. Ia menghela nafas dan sekuat tenaga menatap Syafa dengan tegar. "Lelaki brengsek itu datang dan membawa mereka. Menjanjikan kebahagiaan untuk Melati."
Kasihan?
Jelas sekali Syafa merasa sangat iba terhadap Sadewa. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Meninggalkan Gilang untuk kembali dengan Sadewa?
Itu gila.
Setelah berbulan-bulan belajar dan menerima kehadiran Gilang, mana mungkin Syafa melepas kerja kerasnya begitu saja. Lagipula, selama ini ia tidak pernah merasa sedih atau terbebani.
Gilang sangat sempurna sebagai partner hidupnya.
Lelaki itu tahu kapan harus berkata tidak pada segala pemikiran berani Syafa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Partner Kondangan (Complete)
RomansaDalam sebulan, Syafa bisa menghadiri lima kali kondangan. Sebenarnya tidak masalah, toh gadis itu senang-senang saja karena bisa mencicipi makanan gratis. Masalahnya adalah partner kondangan yang tidak pernah permanen.