Sepi.Semua pintu tampak terkunci. Bahkan gorden menutupi jendela rumah minimalis itu dengan sempurna.
Satu hal yang menambah kesan tidak ada orang sama sekali. Lampunya. Ya, lampu teras sudah menyala, padahal hari masih terang benderang.
"Ayo balik aja, Dek." Ucap Syafa. Ia menghampiri adiknya dengan langkah gontai.
"Emang cari siapa sih, Kak? Rumah siapa itu?" Tanya Syana.
"Temen. Tapi kayaknya nggak ada orang." Jawab gadis itu.
Ia segera naik ke boncengan. Kemudian berpegangan pada pinggang sang adik. Kepalanya pun lunglai. Ia bersandar pada bahu Syana.
"Kakak masih nggak enak badan?" Tanya pemuda itu.
"Sedikit."
Jadi Syana akhirnya membawa motor dengan kecepatan lambat. Tapi beberapa kali Syafa meminta adiknya lebih cepat. Apalagi langit menggelap karena mendung.
"Kita berteduh dulu ya, Kak?!" Seru si bungsu ketika hujan mulai turun.
"Jalan aja!" Tolak gadis itu.
Entahlah, ia ingin hujan membasahi tubuhnya.
Seiring dengan langit yang menjatuhkan air, gadis itu juga menumpahkan air dari matanya.
Syafa menangis.
Ia merutuki dirinya. Kenapa harus menangis karena Sadewa? Apa lelaki itu memang seistimewa itu?
Untung saja hujan menyamarkan tangisnya. Jadi ia tidak perlu menjawab pertanyaan orang-orang tentang alasannya menangis.
"Kak?"
"Ya?"
"Kayaknya bensinnya abis."
Benar saja, laju motor memelan. Mesinnya pun mati.
Rasanya, Syafa ingin menangis lebih keras lagi. Nasibnya hari ini benar-benar menyedihkan.
Atau...
Tuhan ingin membiarkannya puas menangis dalam hujan lebih lama lagi?
Setelah mendorong motor sekitar satu kilometer, mereka akhirnya mendapatkan kios yang menjual bensin eceran.
Motor pun terisi bahan bakar dan kembali menyala. Bersamaan dengan hujan yang mereda.
"Awas aja kalo kakak sakit lagi gara-gara hujan. Adek nggak mau disalahin bunda. Karena emang kakak yang minta terus jalan hujan-hujanan." Dumal Syana selama di jalan.
"Iya."
"Pokoknya resiko ditanggung kakak."
"Beres."
Apa sih yang bisa ia lakukan saat menghadapi si bungsu selain mengalah?
Kali ini, motor Syana melaju cukup cepat. Kemudian tidak lama mereka telah memasuki komplek perumahan tempat mereka tinggal.
Semakin lama, rumah terlihat jelas. Lalu Syafa terdiam. Ia merasa sangat bodoh.
"Motor Bang Dewa tuh!" Seru Syana. Pemuda itu selalu senang saat Sadewa mampir ke rumah. Karena biasanya tidak pernah datang dengan tangan kosong. Pasti ada saja makanan yang ia bawa.
Syafa turun dari motor dalam keadaan basah kuyup. Ia melangkah pelan menuju pintu samping, agar tidak membasahi lantai ruang depan.
"Syafa? Ini Nak Sadewa nungguin dari tadi." Suara Bunda membuat Syafa mematung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Partner Kondangan (Complete)
RomanceDalam sebulan, Syafa bisa menghadiri lima kali kondangan. Sebenarnya tidak masalah, toh gadis itu senang-senang saja karena bisa mencicipi makanan gratis. Masalahnya adalah partner kondangan yang tidak pernah permanen.