21. Sepihak

3.9K 489 21
                                    


Syafa tidak ingin menangis. Tapi air matanya langsung tumpah tanpa permisi saat mendengar suara Sadewa.

"Syafa."

Awalnya tangis itu bentuk dari rasa lega dan bahagianya. Namun...

"Maaf. Sepertinya saya nggak bisa nepatin janji. Setelah saya pikir lagi, saya bukan orang yang tepat buat kamu."

"Kamu akan lebih baik sama orang lain. Bukan saya."

Belum juga Syafa sempat berbicara, sambungan diputus secara sepihak. Membuat gadis itu tidak bisa berkata apa-apa selain menunduk dan menangis.

Sesakit itu rasanya dicampakkan oleh seseorang yang ia yakini baik untuknya.

"Bunda! Kak Syafa nangis!" Adu Syafiq. Suaranya yang menggelegar membuat Syafa ingin melempari adiknya dengan kursi.


Gara-gara mulut besar adiknya itu, seluruh keluarga sampai mendatangi Syafa ke kamar.

Penuh.

Kamar yang tak seberapa besar itu jadi sesak. Seluruh adiknya menjadi penonton. Sementara bunda dan ayah duduk di sisi kiri dan kanan gadis itu.

Bukannya tenang, tangis Syafa semakin menjadi. Ia malu. Seorang Syafa jarang sekali menangis begini. Tapi sekarang?

Konyolnya, ia malah menangisi seorang lelaki sialan bernama Sadewa.

"Kakak kenapa?" Tanya bunda dengan lembut.

Jelas, Syafa masih bungkam. Gadis itu kepalang malu dan gengsi kalau ketahuan menangisi Sadewa.

Tapi ya... Di antara anggota keluarga pasti ada saja yang peka. Seperti Syabil dan Syana.

"Diputusin Bang Dewa?" Tebak Syabil tepat sasaran.

"Kok Adek jadi gedeg ya, sama Bang Dewa? Kakak kan jadi nangis lagi." Celetuk Syana. Kedua telapak tangannya terkepal.

"Hah? Kak Syafa sebelumnya udah nangis?" Syafiq bertanya dengan mata melotot.

"Nggak bisa dibiarin." Gumam Syandana, ikut tersulut amarah.

"Anak-anak." Ucap Ayah. "Ini urusan pribadinya kakak. Nggak usah sok-sok-an jadi pahlawan. Ayah nggak suka kalian marah-marah pakai kekerasan. Semua pasti ada alasannya."

Ayah yang bijak tidak ingin mengambil kesimpulan sepihak. Jika dipikir lagi, tentu ada yang namanya sebab-akibat di dunia ini. Sadewa pasti tidak sekonyong-konyong mengambil keputusan untuk memutuskan Syafa.

Bunda setuju dengan mengangguk. Wanita anak lima itu menyeka air mata di pipi sang sulung.

"Kakak juga mungkin perlu introspeksi diri. Mungkin ada hal di diri kakak yang buat dia mundur." Lanjut bunda.

Ketika empat adiknya manggut-manggut, Syafa malah tidak terima.

"Udah ah... keluar-keluar. Engap." Rajuk Syafa.

Sebagai keluarga yang pengertian, mereka akhirnya keluar juga dari kamar gadis itu. Jika keadaannya seperti ini, sendirian untuk sementara waktu akan jauh lebih baik untuk mengembalikan mood Syafa.



.
.
.




Syafa bukanlah gadis yang akan terus terpuruk karena patah hati. Ia akan menyembunyikan semua nelangsanya dengan baik.

Gadis itu masih mengajar seperti biasa. Tidak murung, malah kelewat ceria dan ramah.

Sebagai seorang adik yang sangat mengenal kakaknya, Syana malah miris. Ia sedih karena Syafa harus memakai topeng tebal agar tidak terlihat sedang patah hati.

Partner Kondangan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang