7. Persepsi dan Ekspektasi

5.6K 611 10
                                    

Orang kalau tersenyum dan tertawa, apa itu sedang menunjukkan bahagia?

Belum tentu.

Terkadang senyum dan tawa bisa menjadi topeng untuk menutup duka dan luka.

Sama seperti menangis. Lantas karena mengeluarkan air mata itu berarti sedih?

Salah.

Menangis bisa jadi ungkapan bahagia dan rasa syukur.

Begitulah hidup. Selalu tidak sama dengan apa yang orang lain persepsikan.

Masalahnya, kita hidup di dunia penuh persepsi dan ekspektasi. Suara mayoritas adalah mutlak. Sisanya harus mengikuti sesuai arus.

Seperti saat ini yang sedang Syafa dengar. Teman-teman SD-nya sedang bicara tentang hidup bahagia.

"Makanya cepetan. Nanti keburu sama umur yang makin bertambah." Ucap Dwi, sok memberi saran tentang pernikahan pada Syafa. Mentang-mentang dia yang paling dulu menikah dan punya tiga anak.

"Iya... bahagia loh... enak di rumah ngurus anak." Sambung Rina.

Syafa hanya cengengesan saja. Rasanya ia ingin segera pergi. Tapi Sadewa, partnernya hari ini belum juga terlihat keluar dari tempat tamu lelaki.

Oh ya, kondangan kali ini memang cukup unik. Syafa tumben menghadiri acara pernikahan yang memisahkan tamu lelaki dan wanita. Makanya ia terjebak di antara para ibu-ibu yang merupakan temannya dulu.

Sesungguhnya gadis itu tidak baper sama sekali, apa lagi iri dengan kehidupan para temannya. Bagi Syafa, semua ada waktunya.

Saat ini ia menikmati kesendirian. Ia masih ingin punya banyak waktu bersama ayah-bunda dan adik-adiknya. Syafa juga senang bekerja. Semakin sibuk, maka semakin bahagia rasanya. Seperti menjadi orang yang paling berguna.

Namun persepsi orang yang melihat dari luar selalu memandang berbeda. Kasihan misalnya. Atau menghakimi Syafa karena terlalu mementingkan karir.

Karir macam apa? Menjadi guru di sekolah swasta sama sekali tidak ada jenjang karirnya. Kecuali jika tiba-tiba ia bisa jadi kepala sekolah.

Satu lagi yang selalu Syafa pertanyakan. Masalah usia. Rasanya, menjadi perempuan itu seperti punya banyak sekali batasan.

Memang salah umur dua puluh tujuh tahun masih lajang? Bahkan sekarang, ada banyak wanita yang memilih untuk menikah di usia lebih dari tiga puluh.

"Muka kamu bete banget?" Tegur Sadewa saat mereka akhirnya bisa keluar dari acara.

"Lama-lama kondangan itu nggak enak. Awalnya dulu jadi ajang reuni. Sekarang-sekarang malah jadi ajang saling menasihati urusan orang." Dumal Syafa.

Gadis itu memasang helm dengan gerakan kasar hingga kepalanya terantuk.

"Aw!"

"Kesel sih boleh, tapi mohon tetap gentle, kasihan helm saya." Canda Sadewa yang membuat lelaki itu harus menerima satu pukulan keras di bahunya.

Motor N-Max itu pun melaju pelan melewati jalanan perumahan yang ramai. Syafa duduk sambil berpegang pada tas selempang yang Sadewa pakai.

"Pernah nggak orang punya persepsi tentang kamu, tapi apa yang mereka lihat dari luar ternyata bukan yang sebenarnya kamu?" Tanya Syafa cukup belibet.

"Ya pasti. Tapi saya tutup telinga dan jalani hidup seperti biasa. Jadi diri sendiri." Jawab lelaki itu. "Memang kamu diapain sama teman-teman di sana."

"Intinya mereka pamer sudah menikah, punya anak, dan hidup bahagia. Mereka anggap aku itu menyedihkan karena beda dari mereka." Adu Syafa.

Sadewa terkekeh, "mungkin mereka juga iri karena kamu kelihatan enjoy dan bersinar."

Partner Kondangan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang