24. Mendewasakan

3.9K 497 22
                                    

"Did you love me?"

Tanya Syafa.

Sadewa sudah bersiap untuk bersuara, namun...

Tin! Tin!

Klakson mobil mengurungkannya. Seharusnya mereka menyingkir dulu dari jalan.

"Ayo ke taman." Ajak Syafa akhirnya. Gadis meminta Sadewa untuk menaiki motornya. Kemudian ia duduk di boncengan.

Siang ini, taman memang tampak sangat sepi. Lagipula siapa juga yang mau bermain siang bolong begini. Anak-anak yang sering bermain di tempat itu pun pasti sedang tidur siang.

Satu bangku taman di bawah pohon asam yang rindang menjadi tempat Sadewa dan Syafa duduk.

Mereka duduk berdampingan dengan jarak satu meter.

Awalnya mereka diam. Masing-masing menatap objek berbeda yang ada di taman. Hingga Sadewa bersuara.

"I love you." Ucapnya.

Kepala Syafa otomatis menoleh. Menatap profil samping Sadewa yang selalu tampan.

Lelaki itu menundukkan kepala. Kakinya bergerak gelisah. Sementara Syafa hanya memandangnya.

"Tapi saya cemen dan nggak bisa tegas sama keadaan." Lanjutnya. Mengundang kerutan di kening Syafa.

"Well, memang keadaan kamu gimana? Orang tua udah jodohin sama yang lain, atau kamu jatuh cinta sama cewek lain?"

Tanya Syafa langsung blak-blakan. Ia penasaran juga. Apa sebenarnya alasan Sadewa untuk mundur dan melepasnya.

Lelaki itu menoleh. Membalas tatapan mata Syafa. Lalu ia mulai bercerita tentang segalanya. Sampai harus mengambil sebuah keputusan untuk melepas Syafa.

Sementara Syafa menyimak. Sesekali mengangguk. Mencoba untuk paham. Meski sakit rasanya. Tapi ia menempatkan diri berada di posisi Sadewa.

"Saya coba datangi laki-laki itu. Menuntut agar dia tanggung jawab. Tapi..."

"Ya, tapi dia nggak mau?" Kejar Syafa.

"Bukan sekedar nggak mau. Dia hajar saya. Dia hina Melati dan hampir ngehajar Melati juga."

Lelaki itu menghela nafas.

"Saya lemah sekali. Saya jadi kasihan. Meskipun Melati salah, tapi anaknya nggak pernah minta untuk hadir dengan cara begitu."

Tanpa terasa air mata Syafa dan Sadewa luruh.

"Kerja bagus. Di dunia ini, udah jarang banget orang baik kayak kamu." Puji Syafa.

"Kamu nggak marah?"

"Marahnya dalam konteks apa?"

"Karena... lepas kamu?"

Gadis itu tertawa kecil. Ia mengusap air matanya dan menatap Sadewa dengan hangat.

"Jelas marah karena nggak pernah tau alasannya apa. Diputus lewat telpon tanpa ada alasan yang masuk akal. Habis itu kamu kayak menghilang. Marah banget. Tapi sekarang..."

Lelaki itu menunggu lanjutan ucapan Syafa.

"Saya nggak marah. Saya cuma kecewa karena kamu nggak jujur dari awal. Jadi saya sempat benci kamu."

Bibir Sadewa melengkungkan senyuman.

"Hati saya yang terdalam, saya masih punya harapan. Saya mau kamu yang temani hari-hari saya sampai tua. Mungkin kamu bisa bantu saya?"

"Bantu gimana? Bantu patahkan harapan Melati? Padahal dia sudah babak belur sebelumnya? Jahat sekali saya kalau begitu."

"Jadi kamu ikhlasin saya gitu aja karena cerita tadi? Kamu nggak curiga saya buat-buat alasan dan cerita begitu biar kamu simpati?"

Partner Kondangan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang