12. Skala Prioritas

4.4K 524 18
                                    

"Sini." Sadewa mengambil alih tumpukan buku catatan yang dibawa Syafa dari dalam kelas.

"Saya bisa sendiri." Cegah gadis itu.

"Iya, tapi kamu juga repot bawa tas proyektor. Karena buku catatan lebih ringan, jadi saya bawakan aja." Lelaki itu beralasan.

Kening Syafa mengernyit. Keduanya berjalan menyusuri koridor yang sepi di pergantian jam mata pelajaran ini. Kebetulan baik Syafa maupun Sadwa tidak ada jam mengajar hingga siang nanti.

"Loh, harusnya kan kamu malah bawa yang lebih berat?" Tanya gadis itu heran.

"Kalau yang lagi kerepotan bawa itu Bu Hera atau Bu Inggit, saya pasti bawa yang paling berat."

"Terus? Kok beda kalo sama saya?"

"Karena itu kamu."

"Bedanya?"

Mereka sudah sampai di ruang guru. Sadewa meletakkan buku catatan para murid di atas meja milik Syafa. Sementara gadis itu meletakkan proyektor ke dalam lemari penyimpanan di sudut ruangan.

"Bedanya, kamu kuat. Kalau saya bawa yang lebih berat, bisa-bisa kamu malah tersinggung. Bukan tersanjung." Jawab lelaki itu.

Mata Syafa mengerjap. Darahnya berdrsir dan jantungnya berdegub kencang tidak seperti biasa. Aneh. Padahal Sadewa tidak sedang menggombal.

"Oke... bisa diterima." Ujar gadis itu setelah menguasai diri.

Ia duduk di kursinya dan segera memeriksa tugas para murid. Berusaha untuk mengabaikan keberadaan lelaki itu yang juga duduk di kursi sebelahnya.

"Syafa." Panggil Sadewa.

"Hmm?" Tanggapnya. Berusaha biasa saja.

"Ibu saya datang sabtu ini. Karena saya cerita tentang kamu ke beliau, katanya kamu diminta mampir juga. Mau makan malam bersama gitulah." Ujar lelaki itu.

"Hah?" Kepala Syafa menoleh.

"Iya. Ibu ingat. Dulu kamu suka ayam bajar buatan ibu kan? Jadi beliau mau masak ayam bakar kayak dulu."

Gadis itu membisu.

Kenapa jadi aneh gini sih? Kan Sadewa cuma ngundang biasa. Kayak waktu dulu kita masih SD.

"Gimana? Kalo ada waktu, nanti saya bilang ibu. Jadi bisa siapin bahan masaknya. Kalo enggak ya udah."

"Saya pastiin schedule dulu ya." Ucap Syafa akhirnya.

Sadewa terkekeh, "jadwal kondangan kamu padat ya?"

Gadis itu ikut terkekeh. Ya... bisa di bilang begitu sih.

.
.
.

"Kak!" Panggil Rio saat melihat Syafa berjalan di kejauhan. Lelaki itu sedang bermain basket di lapangan komplek rumah keluarga gadis itu. Tidak sendiri, tentu ada Syandana juga di sana.

"Rajin banget basketan di sini sore-sore?" Tanya Syafa saat akhirnya sampai di pinggir lapangan.

"Soalnya di komplek gue sepi."

"Iya, orang-orangnya individualistis banget." Timpal Dana yang duduk menyeruak di antara Rio dan Syafa. "Crazy rich suka gitu kali ya?"

Rio terkekeh lalu mengangguk. "Ya gitu... kecuali gue. Makanya lebih suka main ke sini."

"Ya udah... aku balik ke rumah dulu. Cepetan balik sebelum maghrib ya kalian." Ucap Syafa akhirnya.

"Gue udahan deh. Capek." Ucap Rio ikut beranjak menyusul Syafa.

Partner Kondangan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang