50. Bonus: CLBK

7.2K 545 14
                                    


"Kang!" Panggil Syafa dari dalam kamar. Di Sabtu pagi ini, wanita itu sudah sibuk mengemas barang-barang di dalam kamar.

Berhubung Gilang ingin mengganti suasana, ia memutuskan untuk mengecat kamarnya. Jadi hari libur ia manfaatkan untuk jadi tukang amatir.

Berbekal pengetahuan dari YouTube, akhirnya lelaki itu memutuskan inilah saat yang tepat untuk bermain dengan warna.

"Ada apa?" Lelaki itu muncul dan berdiri di ambang pintu sambil membawa beberapa macam ukuran kuas.

"Tolong bantu angkatin kotaknya." Pinta Syafa.

Gilang memang menyimpan sebuah kotak kayu lumayan besar. Ia lupa isinya apa saja, karena gemboknya hilang.

Rencananya setelah mengecat nanti, ia akan membongkar kotak tersebut.

Setelah seluruh barang telah diletakkan di luar, Gilang dibantu Syafa mulai mengolesi cat berwarna biru pastel itu ke tembok.

Memaksimalkan ketelitian Syafa, Gilang memberi tugas pada istrinya untuk mengecat bagian pinggir kusen pintu serta jendela.

"Inget nggak kang, pas dulu kita bantuin panitia Pekan Seni Raya di kampus? Kita bikin set untuk pojok foto. Waktu itu kita berdua yang ngecat sampai malam." Kenang Syafa.

"Iya ingat. Gara-gara kejar waktu, kita ngecat tiga set dalam semalam. Terus kamu ngantuk-ngantuk sambil megangin kuas." Lelaki itu juga mengingat peristiwa beberapa tahun silam.

"Iya bener. Habis itu aku ketiduran. Tau-tau pas bangun udah ada di sekre. Aku tuh lupa, gimana bisa sampai sekre. Akang bilang aku jalan sendiri, kayak sleep walking gitu."

Gilang yang sibuk, melirik Syafa sekilas. Lalu tersenyum miring. Ia ingat bagaimana dulu, dengan susah payah menggendong Syafa di punggung.

Tapi gadis itu belum tahu yang sebenarnya. Itu karena dulu, Gilang tidak ingin merasa Syafa berhutang budi padanya.

"Sebenarnya... " Lelaki itu menggantung ucapan. "Akang gendong kamu di punggung. Habis kamu dibangunin nggak sadar-sadar. Udah kayak orang pingsan."

Mendengar itu, Syafa terbelalak. Tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Beneran?"

Gilang mengangguk.

"Kok nggak cerita?"

"Terus habis itu kamu bakalan nggak enak dan bilang maaf terus-terusan gitu? Mending akang bilang aja kamu jalan sendiri."

"Kok akang baik sih?"

"Iya dong."

Lelaki itu terkekeh. Lalu melanjutkan aktivitas mengecat-nya.



.
.
.



Kamar mamah, kamar Teh Gina, sama kamar tamu mau dicat sekalian nggak?" Tanya Syafa.

Ternyata tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan kegiatan mengecat itu. Apalagi jenis cat yang Gilang beli cukup cepat kering.

"Jangan kamar mamah. Itu catnya udah warna yang mamah suka. Tapi kita bisa cat dua kamar lain. Cuma belakangan aja deh." Jawab Gilang.

"Kenapa nggak sekalian aja?"

"Kita kan nggak tau nanti punya anak cewek apa cowok. Biar disesuaikan warnanya."

Kalimat itu membuat Syafa bungkam. Ini sudah memasuki tahun kedua pernikahan, tapi mereka belum juga dikaruniai momongan.

Awalnya memang santai. Tapi lama-lama lingkungan sosial mereka menjadi beban. Padahal baik keluarga Syafa dan Gilang tidak pernah mempermasalahkan. Bertanya kapan punya anak pun tidak. Justru orang-orang di luar kerabat yang bawel.

Wanita itu paling gerah saat ikut arisan komplek. Pertanyaan selalu seputar anak. Bahkan mungkin Minggu lalu, Ibu RT menakut-nakuti Syafa. Katanya, bisa-bisa Gilang kabur ke dalam pelukan perempuan lain yang bisa memberi keturunan.

"Ah iya. Mending buka kotak kayu tadi." Gilang yang peka, langsung membelokkan bahasan. Ia mengajak Syafa untuk bersama membuka kotak kayu tergembok itu.

"Satu, dua..." Hitung Syafa.

Prak!

Satu pukulan palu yang sangat keras menghantam gembok. Seketika kotak itu tak lagi terkunci.

Bersama keduanya membuka tutup kotak kayu itu dan...

"Gulungan kertas." Gumam Gilang.

Saat Syafa akan membuka salah satu gulungan, lelaki itu langsung merebutnya. Ia ingat apa isi gulungan tersebut.

Tapi tangan wanita itu cukup cepat untuk membuka gulungan lainnya.

Mata Syafa terbelalak saat membentangkan gulungan kertas itu.

Sebuah pop-art membentuk wajah yang sangat ia kenali.

Wajahnya sendiri.

Iya. Wajah Syafa.

Gulungan-gulungan itu menampilkan digital art karya Gilang dengan objek wajah Syafa dalam berbagai ekspresi.

"Kok muka aku semua, Kang?"

Bingung harus menjawab apa, Gilang hanya menggosok tengkuknya. Gugup.

"Sejujurnya, dulu waktu kuliah... akang naksir sama kamu." Akhirnya pengakuan itu terucap juga.

"Hah?" Syafa sampai ternganga. Masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Akang tuh suka dari pas ospek. Soalnya kamu tuh pemberani. Nggak ada takut-takutnya sama komdis galak."

"Kalo suka kok malah seneng jahilin?"

"Itu namanya cari perhatian. Habisnya banyak banget saingan akang. Kamunya juga suka nolakin cowok, ya akang jadi gentar."

Melihat cara Gilang bercerita dengan kaya ekspresi, membuat Syafa tertawa.

"Tau nggak Kang?"

"Nggak."

"Ih... dengerin dulu."

"Oke."

"Dulu aku juga sempat naksir sama akang. Soalnya akang tuh lucu. Tapi gara-gara Vita bilang akang pacaran sama Kak Viona, nggak jadi naksir deh. Eh, akangnya juga jahil. Batal naksirnya." Aku Syafa.

"Kok gitu? Siapa yang sebar gosip begitu? Wah..."

Syafa tertawa. Wanita itu kembali membentangkan gulungan kertas lainnya.

"Kalo dilihat lagi, kayaknya akang cukup bucin juga ke aku. Habis bikin giniannya banyak banget." Begitu, kesimpulan yang Syafa tarik.

"Bukan gitu. Ini tuh sebenarnya buat nembak kamu pas wisuda. Jadi akang mau buat eksibisi gitu. Tapi kamunya Duta bilang, kamu pacaran sama Haris. Akhirnya karya yang tiga malam akang kerjain ini, batal dipamerin ke kamu."

"Serius?"

Gilang mengangguk, "seratusrius."

"Si akang bisa romantis gitu, tapi ngelamar di swalayan. Depan keranjang buah jeruk pula." Protes Syafa.

"Itu udah beda. Pas bikin ginian kan masih berjiwa muda, Fa. Kalo yang ngelamar itu kan kepepet kewajiban ke orang tua." Jelas Gilang.

Wanita itu tersenyum hangat. Lalu memeluk Gilang yang ada di sampingnya.

"Misalnya kalo dulu semua bisa kesampaian, belum tentu kita bisa kayak sekarang." Gumamnya.

"Ya... mungkin bukan itu cara yang Tuhan mau untuk kita jadi saling memiliki."

Gilang tersenyum lebar sambil menatap lekat wajah Syafa.

"Jadi kita ini sebenarnya cinta lama baru kesampaian?" Syafa memberi istilah pada situasi mereka.

"Bisa dibilang begitu." Tanggap Gilang.

Lelaki itu mengeratkan pelukannya pada Syafa. Ia tidak ingin melepas lagi wanita itu hanya karena timing yang kurang tepat.




.
.
.




The last update! Jadi begitulah kenapa nggak dari dulu aja Gilang dan Syafa terikat. Tapi namanya jodoh, pasti nggak akan ke mana-mana.

Partner Kondangan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang