Satu poster besar yang tertempel di depan kotak mading sekolah menarik perhatian Syafa. Ketika ia baru saja keluar kelas usai mengajar, gadis itu menyempatkan diri untuk menengok isi dari poster.
"Ulang tahun sekolah." Gumamnya.
Memang, Sekolah Nusa Bangsa selalu merayakan hari jadi mereka dengan meriah setiap tahun. Rangkaian acaranya bisa satu minggu penuh. Anak-anak sangat menantikan hal ini. Karena mereka akan mendapat pengurangan jam belajar. Apalagi alasannya jika bukan untuk persiapan lomba?
Namun ini tidak berlaku untuk para guru. Masalahnya, mereka harus ikut pusing menyiapkan materi lomba juga mempersiapkan para murid, khususnya guru-guru yang menjadi wali kelas. Seperti Syafa.
Gadis itu merupakan wali kelas X-1 yang terkenal liar. Terlewat aktif begitulah. Adanya lomba-lomba seperti ini akan menjadi ajang para murid di kelasnya mempertontonkan jiwa-jiwa bar-bar mereka. Membayangkan itu saja membuat Syafa bergidik ngeri sendiri.
"Untuk tahun ini, tiap wali kelas bisa milih asisten dari guru lain yang tidak pegang kelas apa-apa. Khususnya untuk Ibu Syafa. Pasti sangat butuh untuk mengendalikan anak-anaknya." Ucap Pak Anton -wakil kepala sekolah.
Gadis itu hanya bisa nyengir. Ekspresi wajahnya memelas dan nampak tidak bersemangat dengan acara tahunan ini.
"Wali kelas dan asistennya juga nanti harus aktif ikut perlombaan bersama anak-anak. Jadi guru-guru yang memang ditunjuk menjadi panitia bersama OSIS, tidak boleh terlibat dalam perlombaan." Lanjut Pak Anton.
Seketika Syafa mengangkat tangan sangat tinggi. "Pak! Boleh saya daftar jadi panitia?"
Kepala pria paruh baya berkaca mata tebal itu menggeleng, "anda adalah wali kelas. Syarat menjadi panitia acara adalah guru yang tidak memegang kelas mana pun."
Kepala gadis itu langsung terkulai di mejanya. Rasanya Syafa lebih baik lelah karena berlarian daripada mengurus anak muridnya sendiri. Jika saja bisa bertukar posisi, ia ingin jadi guru yang memegang kelas XII saja.
"Apa semelelahkan itu jadi wali kelas?" Suara dari meja sebelah membuat kepala Syafa mendongak. Ia baru ingat kalau Sadewa duduk di meja sebelahnya.
Kepala gadis itu mengangguk, "tepatnya, mengurus X-1 yang sangat menguras tenaga dan mental."
Sadewa terkekeh. Ia ikut menumpukan kepalanya di meja. Menatap Syafa dengan posisi kepala sama-sama miring. "Mau saya bantu?"
Mata Syafa terbelalak. Ia duduk tegak dan menatap rekan kerjanya dengan tidak percaya. Padahal gadis itu sangat yakin, tidak akan ada guru yang mau membantunya mengurus anak-anak kelewat aktif dan kreatif itu.
"Serius?"
"Serius."
Wajah yang tadinya mendung, mendadak cerah. Bibir Syafa bahkan tersenyum lebar. Ia meraih tangan Sadewa dan menjabatnya dengan kekuatan penuh. "You are definitely my hero!" Serunya girang. Sontak hal tersebut membuat beberapa guru yang sedang ada di dalam ruangan menatap heran ke arah mereka.
"It's nice to be your hero." Balas Sadewa sambil tersenyum ramah dan hangat.
.
.
.
Selembar kertas dengan berisi tabel kegiatan acara terus Syafa pegang. Ia celingukan di ruang guru, kemudian beralih menuju kantin, dan berakhir di bangku taman. Tatapannya menusuk tajam pada sosok lelaki yang duduk santai sambil menyesap es kopi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Partner Kondangan (Complete)
RomansaDalam sebulan, Syafa bisa menghadiri lima kali kondangan. Sebenarnya tidak masalah, toh gadis itu senang-senang saja karena bisa mencicipi makanan gratis. Masalahnya adalah partner kondangan yang tidak pernah permanen.